SELAMAT DATANG DI BLOG INI !!!

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat berkunjung di blog ini. Blog ini dibuat sebagai blog yang berisi artikel-artikel Sosial, Keagamaan dan Politik serta sastra-satra kotemporer. Dan juga berisi foto-foto perihal tersbut di atas.

Jangan segan-segan untuk memberikan komentar, saran dan kritik yang membangun demi kebaikan blog ini dan tentunya kebaikan pemilik blog.

Akhir kata semoga blog ini memberikan manfaat bagi kita semua.


Wassalam


Ahmad Mustofa

Sabtu, 12 September 2009

Mempertemukan Hisab-Rukyat




Oleh : Mahmudi Asyari

SEKITAR lima tahun lalu, seorang wartawan Arab Saudi diseret ke pengadilan lantaran mengkritik putusan mahkamah agung (MA) negeri itu yang berkaitan dengan penetapan awal Syawal. Menurut wartawan tersebut, MA negeri keluarga Saud tersebut telah melakukan kekeliruan fatal lantaran ketika menerima klaim rukyat dari seseorang tidak mau mengecek kebenarannya melalui uji ilmiah, apakah saat itu hilal memang mungkin dirukyat atau tidak. Wartawan tersebut yakin bahwa hilal kala itu tidak mungkin bisa dirukyat lantaran masih jauh di bawah ufuk.

Laporan wartawan tersebut dianggap melawan otoritas agama. Pengadilan kemudian memberinya hukum cambuk. Untung, si wartawan tidak sampai dicambuk karena Putra Mahkota Abdullah yang sekarang menjadi raja mengampuni dan melepaskannya dari penjara.



Bagi kalangan ahli hisab (astronom), bukan kali itu saja Arab Saudi bersikap kontroversial dalam penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Bahkan, disinyalir tiga tahun terakhir ini negeri itu telah melakukan kesalahan dalam menentukan awal ketiga bulan tersebut lantaran dengan mudah menerima kesaksian siapa saja asal mau disumpah.

Padahal, menurut para ahli pada tiga tahun terakhir ini, selain awal Ramadan tahun ini, mungkin yang dilihat ketika itu adalah Merkurius. Saat itu matahari tenggelam sehingga kedudukan planet tersebut sangat tinggi dan bisa dilihat dengan mudah.

Itulah yang terjadi di Arab Saudi jika ada orang yang berani mengkritik putusan MA yang berkaitan dengan penetapan awal bulan hijriah, khususnya menyangkut tiga bulan tersebut. Baru tahun ini, meskipun tetap menolak untuk menyertakan astronom, ulama di sana memperbolehkan penggunaan teropong sebagai alat bantu untuk melihat hilal.

***

Jika di Arab Saudi sudah demikian kuat hegemoni negara (pemerintah) terhadap masalah tersebut, di Indonesia justru sangat longgar. Departemen Agama (Depag) yang sebenarnya sudah disepakati sebagai qadhi (pemberi kata akhir) tidak berdaya menjalankan fungsinya jika terjadi perselisihan. Sebab, ormas, khususnya NU dan Muhammadiyah, sewaktu-waktu bisa mengabaikan penetapan pemerintah. Ketidakberdayaan itu berlanjut ke aliran lain yang merasa punya pedoman sendiri. Misalnya aliran yang selalu ikut kata Arab Saudi meskipun negeri itu sering bertindak kontroversial.

Keadaan seperti itu terjadi karena "dosa" Depag sendiri. Pada masa lalu, mereka sangat politis, termasuk jika menterinya berasal dari Muhammadiyah, yakni cenderung mangakomodasi doktrin ormas Islam tersebut. Maka, tidaklah mengherankan jika yang sering berbeda dari pemerintah ketika itu adalah NU. Kini, setelah menterinya NU, giliran Muhammadiyah yang kukuh dengan doktrin wujudul hilal dan cenderung berbeda dari pemerintah.

Persoalannya, mungkinkah NU pada era Orde Baru (Orba) mengklaim rukyat jika hilal belum berwujud? Sejatinya, tidak ada rukyat jika hilal tidak berwujud. Dari situ timbul pertanyaan, apakah NU waktu itu memang bersikap asal beda atau Depag terkooptasi politik?

Sikap Depag pada era Orba berdampak saat ini, ketika tingkat kepercayaan terhadap Depag tidak bulat. Termasuk, ormas yang dulu selalu sepaham kini cenderung berbeda. Ketiadaan kesamaan sikap terhadap kriteria yang akan dijadikan dasar penetapan awal bulan membuat sejumlah orang bingung, terutama yang merasa bukan pengikut NU dan Muhammadiyah. Meskipun sebenarnya, menurut saya, hal itu tidak perlu disikapi dengan debat kusir. Sebab, masalah tersebut merupakan ranah fikih, bukan syariat. Ketika sudah masuk ranah fikih, urusan itu berarti masuk ranah al-ra'y (pendapat berdasar nalar). Menurut Umar bin Khattab, potensi untuk berbeda sangat besar dalam ranah al-ra'y itu.

***

Yang dipegang tiap-tiap ormas dengan kukuh tersebut sebenarnya bukan ranah syariat yang tidak bisa ditawar. Metode yang dianut masing-masing berada dalam ranah fikih dan politik. Sehingga, jika menganggap hal itu sebagai harga mati, sesungguhnya setiap pihak telah menaikkan level yang menurut Umar hanyalah pendapat tersebut ke tingkat syariat.

Karena masalah itu masuk ke dalam ranah fikih dan politik, sudah seharusnya upaya yang diserukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) didukung semua pihak tanpa perasaan takut akan kehilangan peran. Mestinya, menuju ke arah itu tidak sulit. Sebab, selama ini seperti Muhammadiyah bisa menganggap di daerah yang hilalnya di bawah ufuk sama daerah yang sudah wujud dengan argumen kesatuan wilayah hukum. Begitu juga dengan NU yang bisa mengikutkan sejumlah daerah dengan daerah lain yang mengklaim berhasil melihat hilal (rukyat) dengan ketinggian di bawah 2 derajat. Jadi, semestinya menuju kebersamaan dalam menentukan awal bulan sangat mungkin diwujudkan.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa metode penentuan awal bulan adalah ranah fikih, yang berarti juga ranah ijtihad. Dengan demikian, kebenarannya bersifat relatif. Karena itu, mengingat semua aliran mengakui bahwa fikih hanyalah hasil dugaan yang kuat di samping sifat yang relatif pendirian mutlak-mutlakan, sudah semestinya kita mulai mereduksi dan membuka diri untuk berdialog guna mencari titik temu (kalimatun sawa') yang bisa diterima semua pihak.

Selanjutnya, percayakan kepada pemerintah (Depag) atau MUI sambil mengawasi netralitas mereka. Sebab, hanya lewat tindakan itu, Islam sebagai rahmatan lil alamin, terutama bagi pemeluknya, menemukan momentum sebenarnya. Sudah semestinya kita mulai mereduksi bahwa penggunaan hadis perbedaan adalah rahmat jika nilai sebuah kemaslahatan, khususnya dalam penetapan bulan kamariah, jauh lebih tinggi dalam kebersamaan. (*)

*) Dr Mahmudi Asyari, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Dikutip dari Jawa Pos, tanggal 13 September 2009.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar