SELAMAT DATANG DI BLOG INI !!!

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat berkunjung di blog ini. Blog ini dibuat sebagai blog yang berisi artikel-artikel Sosial, Keagamaan dan Politik serta sastra-satra kotemporer. Dan juga berisi foto-foto perihal tersbut di atas.

Jangan segan-segan untuk memberikan komentar, saran dan kritik yang membangun demi kebaikan blog ini dan tentunya kebaikan pemilik blog.

Akhir kata semoga blog ini memberikan manfaat bagi kita semua.


Wassalam


Ahmad Mustofa

Kamis, 01 Oktober 2009

Ibnu al-Banna, Matematikus Legendaris dari Maroko






Ibnu al-Banna al-Marrakushi dikenal sebagai matematikus Muslim legendaris dari Maroko pada abad ke-13 M. Kontribusinya bagi pengembangan matematika sungguh sangat tak ternilai.

Lewat kitab yang ditulisnya bertajuk Talkhis Amal al-Hisab (Ringkasan dari Operasi Aritmatika) dan Raf al-Hijab, ia memperkenalkan beberapa notasi matematika yang membuat para para sejarawan sains dan ilmuwan percaya bahwa simbolisme Aljabar pertama kali dikembangkan peradaban Islam.

Menurut sejumlah catatan sejarah, al-Banna dan al-Qalasadi merupakan penemu notasi matematika. Dedikasinya dalam mengembangkan matematika telah diakui dunia. Untuk mengenang jasa-jasanya bagi kemajuan matematika, para ilmuwan dunia mengabadikan namanya di salah satu kawah bulan yang diberi nama al-Marrakushi.

Al-Banna pun menjadi satu dari 24 ilmuwan Muslim legendaris yang namanya diabadikan di kawah bulan. Matematikus Muslim kesohor itu bernama lengkap Abu'l-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Utsman al-Azdi. Dalam catatan sejarah, tidak ada keterangan dengan jelas apakah al-Banna lahir di kota Marrakesh atau di wilayah yang diberi nama Marrakesh, Maroko oleh bangsa Eropa.

Ada pula yang menyebut al-Banna terlahir di Granada di Spanyol dan kemudian hijrah ke Afrika Utara untuk mendapatkan pendidikan dan pengalaman hidup. Yang pasti, menurut sejarawan matematika JJ O'Connor dan EF Robertson, al-Banna menghabiskan sebagian besar hidupnya di Maroko.

Al-Banna lahir pada Desember 1256. Saat itu, Suku Banu Marin di Maroko merupakan sekutu Kekhalifahan Umayyah di Cordoba, Spanyol. Suku tersebut kemudian tinggal di bagian timur Maroko di bawah kepemimpinan Abu Yahya. Mereka mulai menaklukkan daerah-daerah di sekitarnya. Suku Banu Marin menaklukan Fez pada 1248 dan menjadikan wilayah tersebut sebagai ibu kota.

Kemudian mereka menaklukan Marrakesh dari kekuasaan suku Muwahhidun yang berkuasa pada 1269. Dengan demikian Suku Banu Marin mengambil alih kekuasaan di seluruh Maroko. Setelah mereka berhasil menaklukkan Maroko, Banu Marin mencoba membantu Granada untuk mencegah kemajuan peradaban Kristen.

Hubungan erat antara Granada dan Maroko itulah yang membuat para sejarawan kesulitan untuk menjelaskan dan mengetahui secara pasti asal al-Banna. Menurut O'Connor dan Robertson, al-Banna menyelesaikan studinya di Maroko. Matematika adalah bidang studi yang disukainya.

Saat itu, matematika merupakan ilmu favorit. Al-Banna sangat cinta dengan geometri serta memiliki ketertarikan untuk mempelajari Elemen Euclid. Ia juga mempelajari angka-angka pecahan dan belajar banyak dari orang-orang Arab yang telah menciptakan matematika s400 tahun sebelumnya. Menurut O'Connor, suku Banu Marin memiliki budaya yang kuat untuk belajar serta mencari ilmu pengetahuan.

Banu Marin juga menjadikan Kota Fez sebagai pusat studi dan kebudayaan Islam. Di Universitas Fez, al-Banna mengajarkan semua cabang ilmu matematika termasuk diantaranya; aritmatika, Aljabar, geometri dan astronomi. Fez merupakan kota yang berkembang dengan pesat. Di kota itu berdiri dengan megah istana kesultanan, madrasah, universitas, serta, masjid yang megah.

Selama mengajar di universitas di kota Fez, al-Banna mengembangkan komunitas akademis. Ia memiliki begitu banyak murid. Hal ini menunjukkan pengaruh al-Banna yang sangat kuat di mata muridnya. Komunitas akademis itu melakukan studi dan diskusi dalam mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan, khususnya matematika.

Al-Banna merupakan penulis yang sangat produktif. Dia telah melahirkan sejumlah karya besar dan legendaris. Tak kurang terdapat 82 karya al Banna yang didaftar oleh Renaud. Namun tidak semua karya al Banna berupa tulisan tentang ilmu matematika, meskipun kebanyakan karyanya adalah matematika.

Dia menulis buku berisi pengantar Elemen Euclid. Selain itu, menulis sebuah teks tentang Aljabar, dan menulis berbagai karya tentang astronomi. Para sejarawan sains mengaku kesulitan untuk mengetahui secara pasti jumlah karya asli al-Banna. Pasalnya, dia juga banyak menyadur buku karya matematikus Islam terdahulu. Kini, sebagian karya al-Banna telah hilang.

Dalam membuat karyanya, al-Banna memang mendapatkan banyak pengaruh dari para ahli matematika Arab sebelumnya. Al-Banna merupakan orang pertama yang mempertimbangkan pecahan sebagai perbandingan antara dua angka dan dia adalah orang pertama yang menggunakan ekspresi almanak, dalam sebuah karya yang berisi data astronomi dan meteorologi.

Karya al-Banna yang paling terkenal adalah Talkhis Amal al-Hisab (Ringkasan dari Operasi Rritmatika) dan Raf al-Hijab. Kedua buku itu berisi komentar-komentar al-Banna terhadap karyanya Talkhis amal al-Hisab. Dalam karyanya itu, al-Banna memperkenalkan beberapa notasi matematika yang membuat para ilmuwan percaya bahwa simbolisme aljabar pertama kali dikembangkan matematikus Islam yakni al-Banna dan al-Qalasadi.

Dalam buku Raf al-Hijab, al-Banna menjelaskan berbagai macam pecahan matematika dan mereka terus digunakan untuk menghitung perkiraan dari nilai akar kuadrat. Hasil menarik lainnya terdapat pada seri menjumlahkan hasil. Berikut contoh rumus matematika yang dikembangkan al-Banna.

13 + 33 + 53 + ... + (2n-1)3 = n2(2n2 - 1) dan
12 + 32 + 52 + ... + (2n-1)2 = (2n + 1)2n(2n - 1)/6.

Mungkin yang paling menarik dari karya al Banna adalah bekerjanya koefisien binomial yang dijelaskan secara rinci dalam bukunya tersebut. Al -Banna menunjukkan bahwa:

pC2 = p(p-1)/2
lalu
pC3 = pC2(p-2)/3.
Memang hal itu sulit dijelaskan tetapi akhirnya al-Banna menerangkan bahwa:
pCk = pCk-1(p - (k - 1) )/k.
sehingga hasilnya
pCk = p(p - 1)(p - 2)...(p - k + 1)/(k !)

Sebenarnya karya al Banna merupakan langkah kecil dari hasil segitiga Pascal yang tiga abad sebelumnya dijelaskan al-Karaji. Meski begitu, ada sesuatu yang lebih fundamental dari pada segitiga Pascal, hasil itu justru merupakan kombinatorial eksposisi al-Banna, bersama-sama membentuk hubungan antara angka dan kombinasi poligonal.

Adikarya Sang Legendaris

Sebelum menjadi matematikus hebat, al-Banna lebih banyak belajar ilmu-ilmu tradisional seperti, bahasa Arab, Tata Bahasa (nahwu dan sharf), hadis, fikih, tafsir Alquran di kampung halamannya. Setelah itu, ia diperkenalkan dengan matematika dan ilmu kedokteran oleh guru-guru pembimbingnya.

Al-Banna diketahui pernah dekat dengan Saint Aghmat, Abu Zayd Abdur Rahman al-Hazmiri yang kemudian dikenal sebagai orang yang selalu mengarahkan dan memanfaatkan pengetahuan matematika Ibnu al-Banna untuk tujuan yang bersifat ramalan.

Al-Banna juga menjadi salah seorang yang mampu menguraikan atau menjabarkan prinsip-prinsip perhitungan dari bentuk-bentuk ghubar (hisab ghubar adalah suatu metode perhitungan yang berasal dari Persia).

Dia juga menjadi seorang figur yang sangat legendaris dan dikenal sebagai saintis yang ajaib. Betapa tidak. Kecerdasan dan kemampuannya sangat luar biasa dan mampu melebihi manusia pada umumnya. Hal ini dia lakukan dengan menerapkan ilmu pengetahuan ilmiahnya. Meskipun demikian, para biografer memuji kerendahan hatinya dan kesalehannya sebagai hamba Allah SWT.

Dia mempunyai sifat dan tingkah laku yang sangat baik dan santun. Karya-karya al-Banna sebenarnya lebih dari 80 judul dengan berbagai macam variasi ilmu pengetahuan yang berbeda-beda. Karya-karyanya itu meliputi ilmu tata bahasa (nahwu), bahasa retorika, fikih, ushulluddin (perbandingan agama), tafsir Alquran, logika, pembagian warisan (al-farai’d), ramalan, astronomi, meteorologi dan matematika, juga termasuk sebuah resume karya Imam al-Ghazali, “Ihya’ Ulumuddin”.

Namun hanya sebagian karyanya yang dapat bertahan sampai sekarang ini. Di antara karya-karyanya tersebut antara lain; Talkhis fi Amal al-Hisab, Risalah fi Ilm al-Masaha, al-Maqalat fi al-Hisab,Tanbih al-Albab, Mukhtashar Kafi li al-Mutallib, Kitab al-Ushul al-Muqaddamat fi al-Jabr wa al-Muqabala, Kitab Minhaj li Ta’dil al-Kawakib, Qanun li Tarhil asy-Syams wa al-Qamar fi al-Manazil wa ma Kifat Auqat al-Lain wa al-Nahar, Kitan al-Yasar Taqwim al-Kawakib as-Sayyara, Madkhal an-Nujum wa Taba’i al-Huruf, Kitab fi Ahkam al-Nujum, juga Kitab al-Manakh.

Dari sekian banyak karyanya, yang paling penting adalah Talkhis fi Amal al-Hisab, yang menjadi perhatian para ilmuwan. Karyanya itu juga telah diterjemahkan oleh A Marre, dan diterbitkan secara terpisah, di Roma pada 1865. Sebagai seorang ilmuwan yang hebat, al-Banna pernah mendapat penghargaan yang tinggi dari Ibnu Khaldun.

Ibnu Khaldun berharap agar karya-karya al-Banna dapat dikembangkan para ilmuwan sepeninggalnya. dya/taq
(Dikutip dari replubika online, tanggal 1 Oktober 2009)




Baca Selengkapnya....

Qadi Zada al-Rumi, Saintis Terkemuka dari Dinasti Timurid






By Republika Newsroom
Rabu, 30 September 2009 pukul 09:13:00

Matematika dan astronomi. Dua ilmu penting itulah yang dikembangkan Qadi Zada al-Rumi, saintis Muslim terkemuka di era kejayaan Dinasti Timurid – yang berkuasa di kawasan Asia Tengah dan Persia pada abad ke-14 M. Ia bersama Sultan Timurid, Ulugh Beg mendirikan observatorium di Samarkand, Uzbekistan – sebuah pusat studi astronomi termegah sepanjang sejarah Islam.

Qadi Zada, sejatinya, hanyalah nama julukan. Astronom dan matematikus yang terlahir pada 1364 di Bursa , Turki itu bernama Salah al-Din Musa Pasha. Ia dipanggil Qadi Zada yang berarti "anak dari seorang hakim", karena ayahnya memang seorang hakim terkemuka pada masa itu.

Ia tumbuh besar di tanah kelahirannya, kota Bursa, Turki. Qadi Zada menyelesaikan pendidikannya di Basra, salah satu kota pusat kebudayaan dan pendidikan Islam terkemuka. Di kota itu, Qadi Zada mempelajari ilmu geometri dan astronomi.

Guna mengasah dan mengembangkan ilmu pengetahuannya, dia kemudia berguru kepada al-Fanari. Sang guru menyadari potensi dan kecerdasan Qadi Zada. Al-Fanari paham betul bahwa muridnya itu adalah seorang pemuda dengan kemampuan yang sangat luar biasa di bidang matematika dan astronomi.

Al-Fanari menasihati Qadi Zada untuk hijrah ke pusat kebudayaan Kerajaan Khurasan atau Transoxania. Di Khurasan, Qadi Zada akhirnya bisa bertemu dan belajar dari para ahli matematika dan astronomi hebat. Khurasan memang dikenal sebagai kota pendidikan yang banyak disinggahi para ilmuwan yang singgah maupun tmenetap di kota itu.

Tak sekedar mendorong, al-Fanari juga mendukung Qadi Zada dengan sehelai surat rekomedasi. Ia juga dibekali gurunya sebuah kitab berjudul Emmuzeg al-Ulum (Tipe-tipe Ilmu Pengetahuan), sebagai tanda bahwa dia adalah seorang pelajar. Mengikuti nasihat gurunya, Qadi akhirnya belajar matematika dan astronomi di Transoxiana sebagai pusat kebudayaan.

Pada 1383, reputasi Qadi Zada langsung meroket. Ia begitu populer sebagai ahli matematika, lewat bukunya berjudul Risala fi'l Hisab ( Risalah Aritmatika). Buku tersebut berisi pengetahuan kompleks mengenai aritmatika, aljabar, dan pengukuran.

Saat Qadi masih muda, penguasa dan pendiri Dinasti Timurid, Timur Lenk mulai menguasai kawasan Iran, Irak, dan bagian timur Turki. Setelah kematian Timur pada 1405, Dinasti Timurid diperebutkan anak-anaknya. Shah Rukh yang merupakan anak keempat Timur Lenk akhirnya memenangkan perebutan kekuasaan peninggalan Timur Lenk tersebut.

Pada 1407, Shah Rukh mendapatkan kekuasaan secara menyeluruh di sebagian besar kerajaan, termasuk Iran dan Turkistan. Dia juga menguasai Samarkand. Wilayah yang dikuasai Shah Rukh merupakan pusat-pusat kebudayaan di mana Qadi Zada mengembangkan ilmunya. Wilayah tersebut meliputi Herat di Khorasan, Bukhara dan Samarkand di Transoxania.

Pada 1407, Qadi bertualang mengunjungi kota-kota tersebut, termasuk Samarkand. Tidak ada yang mengetahui alasan sang saintis mengunjungi Samarkand. Pada masa mudanya, ia belum sempat mengunjungi kota-kota tersebut. Mungkin, dia masih sibuk dengan astronominya. Saat mengunjungi kota-kota tersebut, Qadi sudah memiliki reputasi yang bagus sebagai seorang ahli matematika.

Dia juga sudah menghasilkan karya berupa sebuah risalah aritmatika yang ditulisnya ketika tinggal di Bursa pada 1383. Buku risalah aritmatika tersebut berisi aritmetika, aljabar dan pengukuran.

Setelah mengunjungi sejumlah kota-kota pusat kebudayaan lainnya, Qadi baru mencapai kota Samarkand sekitar 1410. Setahun sebelumnya, Shah Rukh, telah menguasai kekaisaran Timur ayahnya dan memutuskan untuk menjadikan Herat di Khurasan sebagai ibu kota baru. Shah Rukhmenempatkan putranya Ulugh Beg sebagai penguasa di Samarkand.

Ulugh Beg, saat itu, baru berusia 17 tahun, ketika bertemu dengan Qadi di Samarkand. Saat bertemu dengan Qadi, Ulugh Beg sangat mengagumi kecerdasan dan kehebatan sang saintis dalam bidang matematika dan astronomi. Sehingga, dia meminta agar Qadi mengajariny.

Berkat bimbingan Qadi, akhirnya Ulugh Beg juga menjadi seorang ahli astronomi yang terkemuka. Qadi merupakan seorang ilmuwan yang jauh lebih tertarik kepada ilmu pengetahuan dan kebudayaan dari pada politik atau penaklukan militer. Tetapi bagaimanapun juga, dia menjadi seorang wakil penguasa di seluruh kerajaan, terutama wilayah Mawaraunnahr.

Sehingga meskipun sedikit, dia mau tidak mau terkena arus politik. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Pertemuannya dengan Ulugh Beg merupakan titik balik bagi kehidupan Qadi Zada. Sehingga dia memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan bekerja di Samarkand. Dia juga menikah dengan seorang wanita di kota tersebut dan memiliki putra yang bernama Syams al-Din Muhammad.

Qadi menulis sejumlah karya matematika dan astronomi pada tahun pertama menetap di Samarkand. Karya-karyanya ini banyak yang dipersembahkan untuk Ulugh Beg. Hal itu juga menunjukkan reputasi Qadi sebagai seorang guru muda yang brilian dan sangat ahli dalam bidang matematika.

Secara khusus, Qadi menulis komentar tentang Kompendium ahli astronomi al-Jaghmini pada 1412 hingga 1413. Dia juga menulis komentar terhadap karya al-Samarqandi. Komentar yang ditulisnya berupa karya pendek yang hanya terdiri dari 20 halaman. Dalam komentarnya, ia membahas tiga puluh lima dari proposisi Euclid.

Pada 1417, Ulugh Beg membangun madrasah atas dorongan Qadi. Madrasah tersebut digunakan Qadi sebagai pusat pembelajaran yang terletak di depan alun-alun Rigestan di Samarkand. Dengan berdirinya madrasah tersebut, Ulugh Beg mulai mengumpulkan para ilmuwan terkemuka untuk mengajar di madrasahnya, termasuk al-Kashi. Baik Qadi, Ulugh Beg, dan al-Kashi merupakan para astronom terkemuka pada masa itu.



Qadi Zada dan Observatorium Samarkand

Pada 1424, sejarah tertoreh di Samarkand. Seorang penguasa Dinasti Timurid bernama Ulugh Beg berhasil membangun sebuah observatorium untuk penelitian astronomi. Menurut sejarawan sains, Krisciunas, observatorium yang dibangun Ulugh Beg itu merupakan yang termegah di antara tempat pengamatan benda antariksa lainnya yang dimiliki peradaban Islam.

Pembanguna observatorium Ulugh Beg di Samarkand itu tak lepas dari jasa dan ide brilian Qadi Zada. Betapa tidak. Dia adalah guru astronomi Ulugh Beg. Kehebatan Qadi Zada dan Ulugh Beg dituturkan sejawatnya, al-Kashi. Dalam surat kepada ayahnya yang tinggal di Kashan, al-Kashi memuji kemampuan dan kehebatan Ulugh Beg dan Qadi Zada dalam matematika dan astronomi.

Al-Kashi menganggap kedua ilmuwan tersebut merupakan yang paling unggul dibandingkan para ilmuwan lainnya, di zaman itu. Dalam surat tersebut, al-Kashi juga menceritakan bahwa mereka sering mengadakan pertemuan ilmiah yang dipimpin oleh Ulugh Beg dan dihadiri para ilmuwan terkemuka. Saat membahas masalah-masalah dalam astronomi yang cukup sulit, biasanya al-Kashi dan Qadi Zada mampu menyelesaikan masalah tersebut tanpa kesulitan yang berarti.

Karya asli Qadi adalah perhitungan sin 1° dengan tingkat akurasi yang luar biasa. Dia menerbitkan metode perhitungan sin 1° dalam Risalat al-Jayb (Risalah Sinus). Al-Kashi sebagai teman seangkatannya juga menghasilkan sebuah metode untuk memecahkan masalah ini. Namun metode mereka berdua berbeda dan menunjukkan bahwa dua ilmuwan yang luar biasa tersebut sama-sama bekerja pada masalah yang sama di Samarkand.

Qadi menghitung sin 1° mendekati tingat akurasi 10 pangkat minus 12. Pekerjaan utama yang dilakukan Qadi dan sahabat-sahabatnya, baik al-Kashi maupun Ulugh Beg di Observatorium di Samarkand adalah memproduksi Katalog Bintang-bintang. Katalog yang dihasilkan di observatorium tesebut, merupakan katalog bintang pertama yang komprehensif sejak zaman Ptolemeus.

Katalog Bintang itu, menjadi rujukan para astronom hingga abad ke-17 M. Katalog bintang yang diterbitkan pada 1437 itu menjelaskan 992 posisi bintang. Katalog bintang tersebut merupakan hasil dari kolaborasi para ilmuwan yang bekerja di Observatorium tetapi kontributor utamanya adalah Qadi Zada, Ulugh Beg, dan al-Kashi.

Katalog bintang tersebut, selain berisi posisi bintang juga berisi tabel pengamatan yang dilakukan di Observatorium, serta berisi hasil perhitungan kalender trigonometri. Qadi juga menulis komentar terhadap risalah astronomi karya ilmuwan besar Nashir ad-Din al-Tusi. Selain itu, dia juga menulis sebuah risalah mengenai masalah menghadapi Makkah, di mana masalah penting tersebut banyak didiskusikan oleh para astronom dan ahli matematika Muslim.

Setelah wafatnya al-Kashi, Qadi akhirnya menjadi direktur observatorium di Samarkand. Dia terus melakukan pekerjaan utama di Observatorium tersebut dengan memproduksi katalog bintang-bintang. Bahkan katalog bintang yang disebut Zij-i Sultani itu digunakan selama beberapa abad.


Pada 1436, Qadi akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Namun kontribusinya kepada ilmu astronomi dan matematika yang begitu besar, membuat namanya selalu diingat dan dikenang. Bahkan karya-karyanya masih digunakan, hingga kini. dya/taq
(Dikutip dari Replubika online, tanggal 1 Oktober 2009)



Baca Selengkapnya....

Minggu, 13 September 2009

Nasuh Al-Matraki: Cendekiawan Besar dari Turki Usmani




Beragam ilmu pengetahuan yang dikuasainya telah membuat Nasuh Al-Matraki menjadi terpandang di era Kekhalifahan Usmani Turki. Ia pun menjadi salah seorang cendekiawan besar pada abad XVI. Sejarah peradaban Islam mencatat sumbangan penting yang diberikannya bagi pengembangan matematika, sejarah, geografi, kartografi, teknik serta kaligrafi.

Dia bukanlah ilmuwan biasa. Matraki juga dikenal sebagai seorang ksatria yang jago mengatur taktik perang. Tak heran jika, Sultan Sulaiman Al-Qanuni Khalifah Turki Usmani yang sangat disegani di seantero dunia pada abad XVI begitu terkesan dengan kehebatan ilmuwan yang satu ini.

Berkat kehebatannya, Sultan Sulaiman menganugerahi Matraki gelar ustad dan rais. Ilmuwan dan ksatria yang dikenal lihai memainkan beragam senjata itu, pamornya kian berkibar, setelah berhasil menciptakan sebuah permainan strategi perang yang diberi nama Matrak. Atas keberhasilannya itu, Matraki juga dikenal sebagai Master of Knight.

Sejatinya, ilmuwan Muslim masyhur pada abad XVI itu bernama lengkap Nasuh bin Karagozz Al-Bosnawi. Berkat permainan yang diciptakannya itu, dia lebih dikenal dengan sebuatan Nasuh Matraki Bey. Sejatinya, Matraki berasal dari keluarga Bosnia. Ayah dan kakeknya mengabdi sebagai pegawai pemerintahan KekhalifahanTurki Usmani.

Matraki menimba ilmu di sekolah istana pada era kekuasaan Sultan Bayezid II (1481-1521). Dia banyak berguru kepada Sai Celebi salah satu guru Sultan Bayezid II. Dia memulai karirnya sebagai seorang ksatria di masa kepemimpinan Sultan Selim I (1512-1520 M). Pada tahun 1520 M, Matraki memutuskan untuk hijrah ke Mesir. Di negeri piramida itu, ia meningkatkan kemampuannya dalam bidang permainan kemiliteran.

Kemampuan Matraki dalam permainan kemiliteran tak ada yang mampu menandingi. Dia diakui sebagai seorang ksatria yang sangat berbakat dalam bidang ini. Matraki juga dikenal sebagai seorang ksatria yang gemar menggunakan topeng dan ahli bermain pedang. Itulah mengapa dia dijuluki Al-Silahi. Matraki pun mengajarkan kemampuannya dalam memainkan senjata di Sekolah Enderun.

Kemampuannya dalam memainkan senjata telah membuat Sultan Sulaiman Al-Qanuni terpikat. Dalam sebuah acara perayaan khitanan putera sang Sultan, Matraki dan para muridnya mendemonstrasikan kemampuannya dalam seni menggunakan dan membuat persenjataan. Sultan Sulaiman berdecak kagum dengan kehebatan Matraki. Ia lalu menganugerahinya gelar kehormatan.

Menyusul keberhasilannya dalam acara perayaan khitanan putera Sultan Sulaeman Al-Qanuni itu, pada tahun 1529 Matraki juga mampu merampungkan sebuah buku bertajuk Tuhfat Al-Ghuzat. Kitab yang berisi lima bab itu mengupas dan membahas tentang seni menggunakan dan membuat persenjataan.

Dalam buku yang dilengkapi dengan ilustrasi itu, Matraki memaparkan cara-cara membuat dan menggunakan panah, pedang serta tongkat. Matraki pun memberi informasi seputar taktik-taktik militer dan ksatria. Dia juga memaparkan permainan-permainan perang, pendidikan militer, hingga cara menunggang kuda bagi pasukan kavaleri. Ia juga mengupas tentang taktik berperang bagi pasukan infanteri. Dalam buku yang ditulisnya itu, Matraki juga membuat ilustrasi tentang cara membuat benteng pertahanan bergerak.

Pamor Matraki sebagai seorang ilomuwan sekaligus ksatria makin kinclong setelah berhasil menciptakan permainan bernama Matrak. Dalam bahasa Turki, Matrak berarti mengagumkan. Hingga kini Matrak dikenal sebagai permainan orang Turki. Permainan ini dimainkan dengan menggunakan tongkat yang biasa disebut cudgel atau rapier. Tongkat yang digunakan untuk permainan ini ditutup dengan ledder sepintas mirip tiang pancang bowling.

Bagian atas tongkat yang digunakan berbentuk bulat dan sedikit lebih lebar dibanding badan tongkat. Permainan yang diciptakan Matraki itu menyerupai pertempuran animasi. Permainan itu dimainkan di atas rumput. Matraki menciptakan permainan itu sebagai sarana untuk latihan perang. Kemampuannya dalam membuat permainan peperangan itu diperolehnya saat belajar di Mesir pada era kepemimpinan Gubernur Hayr Bey.

Tak hanya termasyhur sebagai seorang ksatria, Matraki pun dikenal sebagai seorang miniaturis, kaligrafer dan seorang pelukis yang ulung. Dia memiliki keahlian yang luar biasa dalam melukis. Setiap kali ikut dalam ekspedisi penaklukan yang dilakukan Kerajaan Usmani Turki, Matraki tak pernah lupa untuk menggambar dan melukiskan tempat-tempat yang disinggahi pasukan istana.

Selain itu, dia juga selalu menjelaskan setiap tempat yang dikunjunginya, mulai dari Istanbul hingga ke Baghdad melalui Tabriz. Kota-kota yang berhasil ditaklukan Kekhalifahan Usmani Turki dari genggaman Kerjaan Safavid semua dicatat dan digambarkan secara detail oleh Matraki. Jalur yang dilalui Matraki berbeda dengan yang dilalui pasukan militer Usmani Turki mereka menempuh perjalanan dari Istanbul ke Baghdad melalui Sivas-Erzurum dan kembali melalui jalan Diyarbakir-Allepo.

Bahkan, secara khusus dia mengambar peta daratan dengan jenis relief dalam kitab yang ditulisnya Bayân-i Manâzil-i Safar-i Iraqayn-i Sultan Süleyman Khan. Buku itu berisi informasi yang detil mengenai ekspedisi pertama Sultan Sulaiman Al-Qanuni saat melawan Kerajaan Sapavid Iran antara tahun 1533 hingga 1536.

Sejarah mencatat Matraki yang juga berhasil menciptakan gaya tulisan kaligrafi khas Usmani Turki. Gaya tulisan kaligrafi yang ditemukan itu bernama "kalem-i divani". Sebelum gaya tulisan kaligrafi khas Turki diciptakan Matraki, Kekhalifahan Usmani Turki masih menggunakan tulisan kaligrafi khas Iran ta'lik.

Matraki tutup usia pada 28 April 1564. Jabatan terakhir yang diembannya adalah memimpin kantor yang mengurusi masalah kuda-kuda istana. Masyarakat Turki mengagumi keberhasilan yang pernah dicapainya. Tak heran, bila karya-karyanya disejajarkan dengan Leonardo da Vinci. Untuk mengenangnya, Radio dan Televisi Turki pada tahun 1979 membuat film dokumenter tentang perjalanan hidup sang ilmuwan dan ksatria fenomenal di abad ke XVI itu.


Sumbangan Sang Ksatria

Sejarah
Matraki dikenal sebagai seorang sejarawan terkemuka di era Kekhalifahan Usmani Turki. Pada tahun 1520 M, dia berhasil menerjemahkan buku sejarah karya Al-Tabari yang berjudul Tarih Al_rasul wa Al-Muluk kedalam bahasa Turki. Karya alihbahasa itu diberi judul Madjma' Al-Tawarikh. Dalam kitab itu dia juga membuat semacam suplemen yang berisi tentang sejarah Ottoman.

Selain itu, Matraki juga menulis sejarah kepemimpinan Sultan Bâyezid II, Sultan Selim I dan Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Beberapa buku sejarah yang ditulis Matraki itu antara lain; Ta'rikh-i Sultan Bâyezid wa-Sultan Selim ; Bayân-i Manâzil-i Safar-i Iraqayn-i Sultan Süleyman Khan yang dikenal dengan Majmua'-i Manâzil (1537). Pada 1538, Matraki juga berhasil menuliskan kitab Fath-nâme-i Karabughdan.

Kitab sejarah lainnya yang ditulis Matraki berjudul Ta'rikh-i Feth-i Shiklos wa Estergon wa Istolnibelgrad . Dia juga menulis dua volume sejarah hidup Sultan Sulaiman dalam kitab Suleyman-name. Pada 1550, sejarawan Kerajaan Usmani Turki itu mendapat dukungan dari seorang menteri utama Sultan Sulaiman, Rustem Pasha untuk menerjemahkan karya Sejarawan Al-Tabari yang lainnya berjudul Djami' Al-Tawarikh. Dalam satu volume khusus pada bagian kitab yang diterjemahkannya itu, Matraki mengupas peristiwa-peristiwa penting di era kepemimpinan Sultan Sulaiman hingga tahun 1561.

Matematika
Matraki memang layak dijuluki ilmuwan serbabisa. Dia ternyata juga sangat populer sebagai seorang matematikus. Secara khusus, dia menulis dua buku matematika dalam bahasa Turki untuk meringankan tugas para ulama, dewan kerajaan (divan katipleri) dan para akuntan negara. Kedua buku matematika yang ditulis Matraki memegang peranan penting dalam kemajuan Kerajaan Usmani Turki.

Pasalnya, buku matematika yang disusun Matraki itu sangat mudah dipahami setiap kalangan. Tak heran, jika buku matematika yang ditulis sang ilmuwan ksatria itu sangat cocok untuk digunakan sebagai matematika bahasa. Buku ini juga dijadikan panduan para akuntan di era Usmani Turki dalam mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan matematika.

Buku matematika pertama yang ditulis Matraki berjudul Jamal al-Kuttab wa Kamal al-Hussab . Kitab yang disusun pada tahun 1517 itu secara khusus didedikasikan Matraki untuk Sultan Selim I (1512-1520). Sedangkan, buku kedua yang bertajuk Umdat al-Hussab fi'l-furuz al-mukaddar bi'l-kulliyat diselesaikan Matraki pada tahun 1533 merupakan pengembangan dari kitab versi pertama.

Geografi Deskriptif
Di Era kekhalifahan Utsmani Turki, Matraki merupakan seorang yang sangat penting dalam bidang geografi deskriptif. Buku pertamanya yang paling bernilai dalam bidang itu berjudul Bayân-i Manâzil-i Safar Iraqayn berisi penjelasan tenpat-tempat yang disinggahi dalam dua ekspedisi ke Irak.

Dia juga membuat miniatur yang menggambarkan jalan yang menghubungkan Istanbul Tabriz Baghdad. Miniatur yang diciptakannya itu mirip sebuah peta. Karya-karya Matraki selalu menjadi rujukan bagi siapaun yang ingin mempelajariUsmani Turki terutama Istanbul pada abad ke-16 M. Selama berabad-abad lukisan hasil goresan tangan Matraki tentang ibukota Usmani Turki itu tetap dijadikan acuan.

Matraki pun sukses membuat peta. Uniknya peta yang diciptakan Matraki disertai dengan miniatur-miniatur sehingga sangat bernilai dari perspektif geografi. Dalam Ta'rikh-i Feth-i Shiklos wa Estergon wa Istolnibelgrad Matraki menggambarkan tempat penginapan yang ada di antara Istanbul dan Budapest. Dalam kitab itu juga dia menjelaskan kota-kota yang dilaluinya seperti Nice, Toulon dan Marseilles. hri/taq
(Dikutip dari republika online, tanggal 14 September 2009).


Baca Selengkapnya....

Nasuh Al-Matraki: Cendekiawan Besar dari Turki Usmani




Beragam ilmu pengetahuan yang dikuasainya telah membuat Nasuh Al-Matraki menjadi terpandang di era Kekhalifahan Usmani Turki. Ia pun menjadi salah seorang cendekiawan besar pada abad XVI. Sejarah peradaban Islam mencatat sumbangan penting yang diberikannya bagi pengembangan matematika, sejarah, geografi, kartografi, teknik serta kaligrafi.

Dia bukanlah ilmuwan biasa. Matraki juga dikenal sebagai seorang ksatria yang jago mengatur taktik perang. Tak heran jika, Sultan Sulaiman Al-Qanuni Khalifah Turki Usmani yang sangat disegani di seantero dunia pada abad XVI begitu terkesan dengan kehebatan ilmuwan yang satu ini.

Berkat kehebatannya, Sultan Sulaiman menganugerahi Matraki gelar ustad dan rais. Ilmuwan dan ksatria yang dikenal lihai memainkan beragam senjata itu, pamornya kian berkibar, setelah berhasil menciptakan sebuah permainan strategi perang yang diberi nama Matrak. Atas keberhasilannya itu, Matraki juga dikenal sebagai Master of Knight.

Sejatinya, ilmuwan Muslim masyhur pada abad XVI itu bernama lengkap Nasuh bin Karagozz Al-Bosnawi. Berkat permainan yang diciptakannya itu, dia lebih dikenal dengan sebuatan Nasuh Matraki Bey. Sejatinya, Matraki berasal dari keluarga Bosnia. Ayah dan kakeknya mengabdi sebagai pegawai pemerintahan KekhalifahanTurki Usmani.

Matraki menimba ilmu di sekolah istana pada era kekuasaan Sultan Bayezid II (1481-1521). Dia banyak berguru kepada Sai Celebi salah satu guru Sultan Bayezid II. Dia memulai karirnya sebagai seorang ksatria di masa kepemimpinan Sultan Selim I (1512-1520 M). Pada tahun 1520 M, Matraki memutuskan untuk hijrah ke Mesir. Di negeri piramida itu, ia meningkatkan kemampuannya dalam bidang permainan kemiliteran.

Kemampuan Matraki dalam permainan kemiliteran tak ada yang mampu menandingi. Dia diakui sebagai seorang ksatria yang sangat berbakat dalam bidang ini. Matraki juga dikenal sebagai seorang ksatria yang gemar menggunakan topeng dan ahli bermain pedang. Itulah mengapa dia dijuluki Al-Silahi. Matraki pun mengajarkan kemampuannya dalam memainkan senjata di Sekolah Enderun.

Kemampuannya dalam memainkan senjata telah membuat Sultan Sulaiman Al-Qanuni terpikat. Dalam sebuah acara perayaan khitanan putera sang Sultan, Matraki dan para muridnya mendemonstrasikan kemampuannya dalam seni menggunakan dan membuat persenjataan. Sultan Sulaiman berdecak kagum dengan kehebatan Matraki. Ia lalu menganugerahinya gelar kehormatan.

Menyusul keberhasilannya dalam acara perayaan khitanan putera Sultan Sulaeman Al-Qanuni itu, pada tahun 1529 Matraki juga mampu merampungkan sebuah buku bertajuk Tuhfat Al-Ghuzat. Kitab yang berisi lima bab itu mengupas dan membahas tentang seni menggunakan dan membuat persenjataan.

Dalam buku yang dilengkapi dengan ilustrasi itu, Matraki memaparkan cara-cara membuat dan menggunakan panah, pedang serta tongkat. Matraki pun memberi informasi seputar taktik-taktik militer dan ksatria. Dia juga memaparkan permainan-permainan perang, pendidikan militer, hingga cara menunggang kuda bagi pasukan kavaleri. Ia juga mengupas tentang taktik berperang bagi pasukan infanteri. Dalam buku yang ditulisnya itu, Matraki juga membuat ilustrasi tentang cara membuat benteng pertahanan bergerak.

Pamor Matraki sebagai seorang ilomuwan sekaligus ksatria makin kinclong setelah berhasil menciptakan permainan bernama Matrak. Dalam bahasa Turki, Matrak berarti mengagumkan. Hingga kini Matrak dikenal sebagai permainan orang Turki. Permainan ini dimainkan dengan menggunakan tongkat yang biasa disebut cudgel atau rapier. Tongkat yang digunakan untuk permainan ini ditutup dengan ledder sepintas mirip tiang pancang bowling.

Bagian atas tongkat yang digunakan berbentuk bulat dan sedikit lebih lebar dibanding badan tongkat. Permainan yang diciptakan Matraki itu menyerupai pertempuran animasi. Permainan itu dimainkan di atas rumput. Matraki menciptakan permainan itu sebagai sarana untuk latihan perang. Kemampuannya dalam membuat permainan peperangan itu diperolehnya saat belajar di Mesir pada era kepemimpinan Gubernur Hayr Bey.

Tak hanya termasyhur sebagai seorang ksatria, Matraki pun dikenal sebagai seorang miniaturis, kaligrafer dan seorang pelukis yang ulung. Dia memiliki keahlian yang luar biasa dalam melukis. Setiap kali ikut dalam ekspedisi penaklukan yang dilakukan Kerajaan Usmani Turki, Matraki tak pernah lupa untuk menggambar dan melukiskan tempat-tempat yang disinggahi pasukan istana.

Selain itu, dia juga selalu menjelaskan setiap tempat yang dikunjunginya, mulai dari Istanbul hingga ke Baghdad melalui Tabriz. Kota-kota yang berhasil ditaklukan Kekhalifahan Usmani Turki dari genggaman Kerjaan Safavid semua dicatat dan digambarkan secara detail oleh Matraki. Jalur yang dilalui Matraki berbeda dengan yang dilalui pasukan militer Usmani Turki mereka menempuh perjalanan dari Istanbul ke Baghdad melalui Sivas-Erzurum dan kembali melalui jalan Diyarbakir-Allepo.

Bahkan, secara khusus dia mengambar peta daratan dengan jenis relief dalam kitab yang ditulisnya Bayân-i Manâzil-i Safar-i Iraqayn-i Sultan Süleyman Khan. Buku itu berisi informasi yang detil mengenai ekspedisi pertama Sultan Sulaiman Al-Qanuni saat melawan Kerajaan Sapavid Iran antara tahun 1533 hingga 1536.

Sejarah mencatat Matraki yang juga berhasil menciptakan gaya tulisan kaligrafi khas Usmani Turki. Gaya tulisan kaligrafi yang ditemukan itu bernama "kalem-i divani". Sebelum gaya tulisan kaligrafi khas Turki diciptakan Matraki, Kekhalifahan Usmani Turki masih menggunakan tulisan kaligrafi khas Iran ta'lik.

Matraki tutup usia pada 28 April 1564. Jabatan terakhir yang diembannya adalah memimpin kantor yang mengurusi masalah kuda-kuda istana. Masyarakat Turki mengagumi keberhasilan yang pernah dicapainya. Tak heran, bila karya-karyanya disejajarkan dengan Leonardo da Vinci. Untuk mengenangnya, Radio dan Televisi Turki pada tahun 1979 membuat film dokumenter tentang perjalanan hidup sang ilmuwan dan ksatria fenomenal di abad ke XVI itu.


Sumbangan Sang Ksatria

Sejarah
Matraki dikenal sebagai seorang sejarawan terkemuka di era Kekhalifahan Usmani Turki. Pada tahun 1520 M, dia berhasil menerjemahkan buku sejarah karya Al-Tabari yang berjudul Tarih Al_rasul wa Al-Muluk kedalam bahasa Turki. Karya alihbahasa itu diberi judul Madjma' Al-Tawarikh. Dalam kitab itu dia juga membuat semacam suplemen yang berisi tentang sejarah Ottoman.

Selain itu, Matraki juga menulis sejarah kepemimpinan Sultan Bâyezid II, Sultan Selim I dan Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Beberapa buku sejarah yang ditulis Matraki itu antara lain; Ta'rikh-i Sultan Bâyezid wa-Sultan Selim ; Bayân-i Manâzil-i Safar-i Iraqayn-i Sultan Süleyman Khan yang dikenal dengan Majmua'-i Manâzil (1537). Pada 1538, Matraki juga berhasil menuliskan kitab Fath-nâme-i Karabughdan.

Kitab sejarah lainnya yang ditulis Matraki berjudul Ta'rikh-i Feth-i Shiklos wa Estergon wa Istolnibelgrad . Dia juga menulis dua volume sejarah hidup Sultan Sulaiman dalam kitab Suleyman-name. Pada 1550, sejarawan Kerajaan Usmani Turki itu mendapat dukungan dari seorang menteri utama Sultan Sulaiman, Rustem Pasha untuk menerjemahkan karya Sejarawan Al-Tabari yang lainnya berjudul Djami' Al-Tawarikh. Dalam satu volume khusus pada bagian kitab yang diterjemahkannya itu, Matraki mengupas peristiwa-peristiwa penting di era kepemimpinan Sultan Sulaiman hingga tahun 1561.

Matematika
Matraki memang layak dijuluki ilmuwan serbabisa. Dia ternyata juga sangat populer sebagai seorang matematikus. Secara khusus, dia menulis dua buku matematika dalam bahasa Turki untuk meringankan tugas para ulama, dewan kerajaan (divan katipleri) dan para akuntan negara. Kedua buku matematika yang ditulis Matraki memegang peranan penting dalam kemajuan Kerajaan Usmani Turki.

Pasalnya, buku matematika yang disusun Matraki itu sangat mudah dipahami setiap kalangan. Tak heran, jika buku matematika yang ditulis sang ilmuwan ksatria itu sangat cocok untuk digunakan sebagai matematika bahasa. Buku ini juga dijadikan panduan para akuntan di era Usmani Turki dalam mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan matematika.

Buku matematika pertama yang ditulis Matraki berjudul Jamal al-Kuttab wa Kamal al-Hussab . Kitab yang disusun pada tahun 1517 itu secara khusus didedikasikan Matraki untuk Sultan Selim I (1512-1520). Sedangkan, buku kedua yang bertajuk Umdat al-Hussab fi'l-furuz al-mukaddar bi'l-kulliyat diselesaikan Matraki pada tahun 1533 merupakan pengembangan dari kitab versi pertama.

Geografi Deskriptif
Di Era kekhalifahan Utsmani Turki, Matraki merupakan seorang yang sangat penting dalam bidang geografi deskriptif. Buku pertamanya yang paling bernilai dalam bidang itu berjudul Bayân-i Manâzil-i Safar Iraqayn berisi penjelasan tenpat-tempat yang disinggahi dalam dua ekspedisi ke Irak.

Dia juga membuat miniatur yang menggambarkan jalan yang menghubungkan Istanbul Tabriz Baghdad. Miniatur yang diciptakannya itu mirip sebuah peta. Karya-karya Matraki selalu menjadi rujukan bagi siapaun yang ingin mempelajariUsmani Turki terutama Istanbul pada abad ke-16 M. Selama berabad-abad lukisan hasil goresan tangan Matraki tentang ibukota Usmani Turki itu tetap dijadikan acuan.

Matraki pun sukses membuat peta. Uniknya peta yang diciptakan Matraki disertai dengan miniatur-miniatur sehingga sangat bernilai dari perspektif geografi. Dalam Ta'rikh-i Feth-i Shiklos wa Estergon wa Istolnibelgrad Matraki menggambarkan tempat penginapan yang ada di antara Istanbul dan Budapest. Dalam kitab itu juga dia menjelaskan kota-kota yang dilaluinya seperti Nice, Toulon dan Marseilles. hri/taq
(Dikutip dari republika online, tanggal 14 September 2009).


Baca Selengkapnya....

Alamak... 100 Peserta Festival Tongklek Macetkan Jalanan Tuban




Minggu, 13 September 2009 22:24:04 WIB
Reporter : Abdul Qohar


Tuban (beritajatim.com) - Banyak cara bisa dilakukan untuk melestarikan budaya lokal, semisal musik tongklek atau biasa disebut musik pembangun umat Islam saat akan melakukan sahur di bulan ramadan.

Di Kabupaten Tuban, lebih dari dari 100 kelompok peserta Festival Musik Tongklek (FMT) 2009 atau patrol membuat warga terhibur dan membuat jalanan di Kabupaten Tuban macel. Dengan peralatan seadanya, hingga yang semi modern, para peserta berusaha menunjukkan kreatifitas masing-masing.

Salah satu panitia pelaksanan Festival Musik Tongklek (FMT) Tahun 2009 Kabupaten Tuban, Imam Masduki, kepada beritajatim.com, Minggu (13/9/2009) mengatakan, kegiatan yang dilaksaakan ini adalah bagian dari menghidupkan kembali budaya masyarakat Tuban yang mulai terkikis oleh budaya modern.




"Dengan cara seperti ini, kami berusaha mengajak kepada masyarakat Indonesia pada umumnya untuk terus menjaga budayanya, agar jangan sampai diklaim oleh negara lain," tegasnya serius.

Ditambahkan, kegiatan ini dipelopori oleh generasi penurus Nahdlatul Ulama (NU) Tuban yang mempunyai tanggungjawab moral untuk menghidupkan kemabli budaya lokal. "Kami tiap tahunnya terus menggelar acara seperti ini," lanjutnya.

Untuk menambah semangat peserta FMT, panitia menghadirkan sejumlah seniman yang khusus untuk memberikan penilaian atau menjadi juri pada festifal ini. "Hal itu dilakukan agar penilaian ini obyektif. Bahkan, ada beberapa seniman dari luar daerah Tuban," sambungnya.

Seperti diketahui, FMT ini juga merupakan rangkaian dari kegiatan Gema Ramadhan yang? digelar oleh Ikatan Pelajar Nahdalatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Purti Nahdalatul Ulama’ (IPPNU) Cabang Tuban. Selain itu juga ada Festifal Rebana se-Karisidenan Bojonegoro dan diklat Jurnalistik Dasar.

Ditanya mengenai ketentuan alat musik yang bisa dimainkan, Masduki menegaskan, alat musik tidak boleh mengunakan alat musik modern. Selian itu peserta harus bisa melantunkan syair-syari Islam yang lagi popular saat ini.

Terpisah, H Noor Faiko Sumjarno, Sekretaris Tanfidz PC NU Tuban menambahkan, musik yang terus dilombakan oleh generasi penerus NU (IPNU/IPPNU) setiap tahunnya ini adalah sebenarnya musik para wali dulu. "Para wali melakukan pendekatan pada masyarakat yang gemar dengan musik, sebelum dikenalkan tentang ajaran islam terlebih dahulu," tegasnya.

Diterangkan, musik patrol tidak sekedar musik tongklek utuk menjaga keamanan dan ketertiban dilingkungan masyarat saja. Melainkan ciptaan para waliyullah yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam dengan cara atau melalui alunan musik dan syair Islami. [dul/kun] (Dikutip dari Beritajatim.com, tanggal 14 September 2009).


Baca Selengkapnya....

Alquran dan Bumi Manusia




Jum'at, 11 September 2009 - 10:14 wib

SETIAP Ramadan di berbagai masjid selalu diadakan peringatan Nuzulul Quran, peristiwa turunnya Alquran. Tentu Alquran turun ke bumi tidak seperti turunnya hujan dari langit karena langit itu sendiri pengertiannya banyak, mengingat bumi itu bulat dan hanya sebagian kecil saja dari miliaran planet yang mengapung di alam semesta.

Jadi, kalau dikatakan Alquran itu turun dari langit, langit manakah yang dimaksud, sulit dijawab secara ringkas. Peristiwa nuzulul Quran mungkin mirip dengan Isra Mikraj, Yaitu peristiwa rohani yang hanya dialami oleh pribadi Muhammad SAW,sementara para sahabat tidak ikut terlibat di dalamnya.

Para sahabat hanya mendengar ceritanya, lalu meyakini. Ini berbeda dengan hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah yang merupakan peristiwa historis-empiris yang bisa disaksikan dan diikuti oleh para sahabat beliau. Alquran turun pun tidak dalam bentuk lembaran kertas penuh tulisan yang jatuh berhamburan di muka bumi, lalu dipungut oleh Rasulullah.

Tidak juga malaikat Jibril menyerahkan bundelan kitab yang dapat diraba dan dipegang. Tetapi Alquran turun pada bumi manusia, dengan lokus ataupun perantara Muhammad seorang diri. Ini merupakan peristiwa rohani yang Muhammad sendiri sulit menjelaskan, bahkan pada awal mulanya ketakutan ketika makhluk spiritual bernama Jibril menemuinya di Gua Hira.

Jadi, yang dituju oleh Nuzulul Quran adalah bumi manusia, yaitu hati dan pikiran manusia, agar pesan dan petunjuk Alquran direnungkan, dipahami, dinalar, selanjutnya masuk menjadi keyakinan dan pada urutannya menggerakkan dan membuahkan perbuatan baik atau amal saleh.

Bahwa setiap Ramadan diadakan peringatan awal turunnya Alquran, itu sangat bagus agar umat Islam semakin akrab dan semakin mencintai Alquran. Namun yang paling mendasar dari peringatan itu adalah apakah pesan dan semangat Alquran nuzul pada hati dan pikiran kita ataukah tidak? Alquran menamakan dirinya dengan beragam nama dan fungsi, namun yang terkenal sebagai hudan atau petunjuk jalan kebenaran dan kebaikan.

Dalam tradisi hermeneutika, sebuah petunjuk akan berfungsi dengan mengandaikan beberapa syarat. Pertama, seseorang mesti paham apa yang dikandung oleh petunjuk itu. Misalnya saja, ketika ke Jepang, saya tiba-tiba menjadi buta huruf lantaran dihadapkan dengan beberapa keterangan dan petunjuk jalan dalam huruf kanji dan bahasa Jepang. Demikian pula apa yang dikandung Alquran.

Ketika seseorang tidak mampu membaca dan menangkap pesannya, petunjuk itu tidak berfungsi. Kedua, ibarat petunjuk jalan, kalau seseorang paham tetapi tidak mau menaati atau dihadapkan pada situasi yang menghalangi, maka lagi-lagi petunjuk itu tidak mengantarkan seseorang pada sasaran yang dituju.Ketiga, ibarat resep dokter, kalau seseorang tidak berdisiplin mengikuti petunjuknya agar memakan obat serta menjaga gaya hidup sehat, maka sulit baginya untuk hidup sehat.

Jadi, Alquran sebagai petunjuk jalan kebenaran dan kebaikan pada implementasinya dikembalikan pada umat Islam sendiri, apakah benar-benar memahami dan mampu melaksanakan ataukah tidak. Bahwa membacanya berpahala, memang itu dibenarkan oleh Rasulullah. Bahwa peringatan Nuzulul Quran itu bagus, itu sudah pasti sebagai tanda cinta umat Islam pada kitab sucinya.

Heart, Head, Hand

Agar Alquran mencapai sasarannya dan nuzul atau turun pada bumi manusia dan berfungsi membawa rahmat bagi kehidupan manusia, tidak saja bagi umat Islam, maka syarat pertama seseorang haruslah menyucikan hatinya (clean heart). Bagi orang yang hatinya tidak bersih, Alquran sulit untuk masuk.

Demikianlah bunyi salah satu ayat Alquran. Selama Ramadan, dengan banyak memperbanyak ibadah mendekatkan diri kepada Allah, memohon ampunan dan berbuat baik kepada sesama, semoga hati seorang mukmin akan kembali menjadi bersih sehingga Alquran bisa nuzul ke hatinya.

Syarat kedua, bila tanpa pikiran kritis dan selalu ingin berdialog secara cerdas dengan Alquran, Alquran seakan bisu, tidak banyak berbicara pada kita. Sebuah teks akan berbicara dan mengajari kita kalau kita senang bertanya, berdialog dan menangkap kandungannya. Makanya umat Islam mesti menggunakan nalar kritis dalam membaca Alquran.

Itulah salah satu keunikan dan keunggulan mukjizat Alquran yang menantang dan sekaligus membimbing penalaran (head) manusia. Syarat ketiga, setelah menggunakan heart dan head dengan benar dan optimal, selanjutnya seorang muslim haruslah mengimplementasikan dalam karya dan tindakan nyata dengan hand, sehingga buah dari kecintaan dan pemahamannya pada Alquran membuahkan amal saleh, yaitu karya nyata yang benar dan bermanfaat bagi umat manusia.

Semasa Rasulullah, masyarakat Arab padang pasir yang dikenal jahiliah dan senang berperang, dengan bimbingan Alquran, hati, pikiran dan perilakunya dipandu oleh Alquran, sehingga dalam waktu singkat terjadi revolusi peradaban.

Alquran benar-benar nuzul pada hati dan pikiran mereka yang kemudian mendorong perubahan sosial, dari kehidupan yang tidak beradab menjadi beradab. Hidup yang semula senang berperang berubah menjadi senang ilmu dan perdamaian. Itulah salah satu pesan Nuzulul Quran yang mesti kita gali, renungkan dan amalkan. (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Dikutip dari: news.oke.zone.com, tanggal 13 September, oleh ahmad Mustofa.


Baca Selengkapnya....

Tionghoa Muslim di Indonesia




Oleh : Tomy Su

Baru-baru ini dikisahkan betapa semaraknya Ramadan di Tiongkok yang penuh dengan kegiatan keagamaan, seperti diungkapkan Rizky Ramadhani Zamzam, remaja putri yang empat tahun ini belajar di Shanghai (Jawa Pos, 6 September 2009).

Nah, informasi tersebut mengingatkan penulis pada sejarah masuknya Islam ke negeri kita. Selama ini, masuknya Islam ke Indonesia selalu diidentikkan dengan penyebaran agama oleh orang Arab, Persia, ataupun Gujarat. Itu tidak keliru. Namun, sejarah tidak lengkap tanpa menyebut Tiongkok. Jadi, Islam masuk ke Nusantara, di antaranya lewat Tiongkok, bersama masuknya armada dari Dinasti Ming ke Palembang pada 1407, yang dipimpin Cheng Hoo. Islamnya bermazhab Hanafi.

Komunitas Awal

Laksamana Cheng Hoo membentuk komunitas Tionghoa muslim di Palembang yang sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orang Tionghoa. Itulah komunitas Tionghoa muslim pertama di Nusantara.

Dalam melaksanakan tugasnya mencari hubungan dagang dan politik, Laksamana Cheng Hoo banyak menggunakan orang-orang Tionghoa Islam dari Yunan. Dengan sendirinya, soal keislaman ikut terbawa. Demi keperluan salat bagi umat Islam, di berbagai tempat didirikan masjid.

Salah satu sosok Tionghoa muslim yang patut dicatat di sini adalah Raden Patah. Menurut dokumen berusia lebih dari 400 tahun di Kelenteng Sam Po Kong Semarang, diperoleh kepastian bahwa Raden Patah -pendiri Kasultanan Islam Demak yang bergelar Panembahan Djimbun- berdarah Tionghoa.

Menurut buku Babad Tanah Djawi Prabu Brawidjaja VII, raja Majapahit menikahi putri saudagar Tionghoa muslim kawan baik Sang Prabu dan memiliki anak. Selanjutnya, anak itu tidak dibesarkan di lingkungan keraton, melainkan dibesarkan dalam komunitas Tionghoa muslim di Palembang.

Jadi, kerajaan Islam Demak dibangun komunitas Tionghoa yang menetap di Semarang. Raden Patah atau Al Fatah menjadi Sultan Demak pertama (1475-1518) dengan julukan Senapati Djimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Saidin Panata Agama.

Yang mengejutkan, malah ada informasi kemungkinan delapan di antara sembilan Wali Sanga juga berdarah Tionghoa. Orang Indonesia mengenal Wali Sanga sebagai sembilan orang sakti yang pertama menyebarkan agama Islam di Jawa. Delapan di antara sembilan wali itu merupakan orang Tionghoa dengan gelar Sunan. Arti "Su" dari Suhu atau dialek Fukien Saihu, Guoyu (Mandarin) Szefu dan "nan"= selatan. Tentu saja, bisa diperdebatkan kebenarannya.

Salah satu jejak para wali tersebut bisa dilihat di Gresik yang merupakan kawasan muslim tertua di Jatim. Ketika itu, belum ada anggota muslimin pribumi. Pada 1451, Bong Swee Ho yang berasal dari Champa mendirikan pusat Islam di Ngampel untuk orang-orang Jawa dan Madura. Bong Swee Ho selanjutnya dikenal sebagai Sunan Ngampel. Putra Bong Swee Ho adalah Bong Ang, salah seorang Wali Sanga dengan nama Sunan Bonang.

Yang paling menonjol dalam komunitas Tionghoa muslim sejak dulu hingga kini adalah sikap santun dan pemahaman keislaman yang moderat, artinya tidak ekstrem. Memang etnis Tionghoa, sebagaimana ajaran Yin-Yang, selalu lebih mengedepankan keseimbangan atau harmoni dengan siapa saja.

Sikap itu tentu senada dengan Alquran yang tidak melegitimasi sedikit pun perilaku dan sikap yang melampaui batas, seperti "irhab", yakni tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi, sehingga berujung pada sikap membenarkan kekerasan atas nama agama.

Tidak heran, kita umat Islam -baik yang Tionghoa maupun bukan- terkejut saat ada orang yang memakai bendera Islam, tetapi tega membunuh orang lain dan dirinya dengan bom. Padahal, Islam mengajarkan bahwa membunuh satu orang sama saja dengan membunuh seluruh manusia. Anehnya, belakangan justru ada "tren" bom bunuh diri.

Penulis sepakat dengan Kepala Badan Litbang dan Pendidikan dan Latihan Departemen Agama HM. Atho Mudzhar bahwa Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin) tidak hanya dipersempit dan direduksi, tetapi juga disimpangkan dan bahkan dibajak oleh beberapa orang Islam yang kerap mengklaim sebagai muslim sejati.

Akibatnya, kebenaran Islam sebagai agama yang santun dan damai tersisih oleh pemahaman keagamaan yang membenarkan kekerasan, ektremitas atau radikalisme.

Islam Itu Damai

Untuk itu, komunitas Tionghoa muslim tidak boleh tinggal diam. Bersama umat Islam lain serta elemen anak bangsa, kita harus proaktif memberikan pencerahan lewat beragam langkah deradikalisasi. Langkah seperti itu harus menjadi proyek nasional mengingat maraknya terorisme. Para agamawan tidak perlu menunggu diajak pemerintah karena kita harus proaktif bersinergi dengan berbagai kalangan untuk upaya deradikalisasi.

Deradikalisasi adalah upaya internal setiap penganut agama untuk masuk ke dalam dan setiap muslim yang meyakini radikalisme atau ekstremitas harus diajak dengan cara-cara yang santun untuk kembali bersikap mo­derat, sebagaimana mainstream umat Islam di dunia. Semakin banyak yang terlibat dalam proyek deradikalisasi itu, seperti para orang tua atau pendidik di sekolah atau lembaga pendidikan, akan semakin baik.

Ramadan sebagai bulan penuh berkah bisa kita jadikan momentum menunjukkan bahwa Islam itu rahmatan lil alamin. Islam itu damai (aslama) dan orang-orang lain harus merasakan rahmat dan damai tersebut. (*)

*) Tomy Su, Koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia
Dikutip dari Jawa Pos, tanggal 13 September 2009.


Baca Selengkapnya....

Sabtu, 12 September 2009

Mempertemukan Hisab-Rukyat




Oleh : Mahmudi Asyari

SEKITAR lima tahun lalu, seorang wartawan Arab Saudi diseret ke pengadilan lantaran mengkritik putusan mahkamah agung (MA) negeri itu yang berkaitan dengan penetapan awal Syawal. Menurut wartawan tersebut, MA negeri keluarga Saud tersebut telah melakukan kekeliruan fatal lantaran ketika menerima klaim rukyat dari seseorang tidak mau mengecek kebenarannya melalui uji ilmiah, apakah saat itu hilal memang mungkin dirukyat atau tidak. Wartawan tersebut yakin bahwa hilal kala itu tidak mungkin bisa dirukyat lantaran masih jauh di bawah ufuk.

Laporan wartawan tersebut dianggap melawan otoritas agama. Pengadilan kemudian memberinya hukum cambuk. Untung, si wartawan tidak sampai dicambuk karena Putra Mahkota Abdullah yang sekarang menjadi raja mengampuni dan melepaskannya dari penjara.



Bagi kalangan ahli hisab (astronom), bukan kali itu saja Arab Saudi bersikap kontroversial dalam penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Bahkan, disinyalir tiga tahun terakhir ini negeri itu telah melakukan kesalahan dalam menentukan awal ketiga bulan tersebut lantaran dengan mudah menerima kesaksian siapa saja asal mau disumpah.

Padahal, menurut para ahli pada tiga tahun terakhir ini, selain awal Ramadan tahun ini, mungkin yang dilihat ketika itu adalah Merkurius. Saat itu matahari tenggelam sehingga kedudukan planet tersebut sangat tinggi dan bisa dilihat dengan mudah.

Itulah yang terjadi di Arab Saudi jika ada orang yang berani mengkritik putusan MA yang berkaitan dengan penetapan awal bulan hijriah, khususnya menyangkut tiga bulan tersebut. Baru tahun ini, meskipun tetap menolak untuk menyertakan astronom, ulama di sana memperbolehkan penggunaan teropong sebagai alat bantu untuk melihat hilal.

***

Jika di Arab Saudi sudah demikian kuat hegemoni negara (pemerintah) terhadap masalah tersebut, di Indonesia justru sangat longgar. Departemen Agama (Depag) yang sebenarnya sudah disepakati sebagai qadhi (pemberi kata akhir) tidak berdaya menjalankan fungsinya jika terjadi perselisihan. Sebab, ormas, khususnya NU dan Muhammadiyah, sewaktu-waktu bisa mengabaikan penetapan pemerintah. Ketidakberdayaan itu berlanjut ke aliran lain yang merasa punya pedoman sendiri. Misalnya aliran yang selalu ikut kata Arab Saudi meskipun negeri itu sering bertindak kontroversial.

Keadaan seperti itu terjadi karena "dosa" Depag sendiri. Pada masa lalu, mereka sangat politis, termasuk jika menterinya berasal dari Muhammadiyah, yakni cenderung mangakomodasi doktrin ormas Islam tersebut. Maka, tidaklah mengherankan jika yang sering berbeda dari pemerintah ketika itu adalah NU. Kini, setelah menterinya NU, giliran Muhammadiyah yang kukuh dengan doktrin wujudul hilal dan cenderung berbeda dari pemerintah.

Persoalannya, mungkinkah NU pada era Orde Baru (Orba) mengklaim rukyat jika hilal belum berwujud? Sejatinya, tidak ada rukyat jika hilal tidak berwujud. Dari situ timbul pertanyaan, apakah NU waktu itu memang bersikap asal beda atau Depag terkooptasi politik?

Sikap Depag pada era Orba berdampak saat ini, ketika tingkat kepercayaan terhadap Depag tidak bulat. Termasuk, ormas yang dulu selalu sepaham kini cenderung berbeda. Ketiadaan kesamaan sikap terhadap kriteria yang akan dijadikan dasar penetapan awal bulan membuat sejumlah orang bingung, terutama yang merasa bukan pengikut NU dan Muhammadiyah. Meskipun sebenarnya, menurut saya, hal itu tidak perlu disikapi dengan debat kusir. Sebab, masalah tersebut merupakan ranah fikih, bukan syariat. Ketika sudah masuk ranah fikih, urusan itu berarti masuk ranah al-ra'y (pendapat berdasar nalar). Menurut Umar bin Khattab, potensi untuk berbeda sangat besar dalam ranah al-ra'y itu.

***

Yang dipegang tiap-tiap ormas dengan kukuh tersebut sebenarnya bukan ranah syariat yang tidak bisa ditawar. Metode yang dianut masing-masing berada dalam ranah fikih dan politik. Sehingga, jika menganggap hal itu sebagai harga mati, sesungguhnya setiap pihak telah menaikkan level yang menurut Umar hanyalah pendapat tersebut ke tingkat syariat.

Karena masalah itu masuk ke dalam ranah fikih dan politik, sudah seharusnya upaya yang diserukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) didukung semua pihak tanpa perasaan takut akan kehilangan peran. Mestinya, menuju ke arah itu tidak sulit. Sebab, selama ini seperti Muhammadiyah bisa menganggap di daerah yang hilalnya di bawah ufuk sama daerah yang sudah wujud dengan argumen kesatuan wilayah hukum. Begitu juga dengan NU yang bisa mengikutkan sejumlah daerah dengan daerah lain yang mengklaim berhasil melihat hilal (rukyat) dengan ketinggian di bawah 2 derajat. Jadi, semestinya menuju kebersamaan dalam menentukan awal bulan sangat mungkin diwujudkan.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa metode penentuan awal bulan adalah ranah fikih, yang berarti juga ranah ijtihad. Dengan demikian, kebenarannya bersifat relatif. Karena itu, mengingat semua aliran mengakui bahwa fikih hanyalah hasil dugaan yang kuat di samping sifat yang relatif pendirian mutlak-mutlakan, sudah semestinya kita mulai mereduksi dan membuka diri untuk berdialog guna mencari titik temu (kalimatun sawa') yang bisa diterima semua pihak.

Selanjutnya, percayakan kepada pemerintah (Depag) atau MUI sambil mengawasi netralitas mereka. Sebab, hanya lewat tindakan itu, Islam sebagai rahmatan lil alamin, terutama bagi pemeluknya, menemukan momentum sebenarnya. Sudah semestinya kita mulai mereduksi bahwa penggunaan hadis perbedaan adalah rahmat jika nilai sebuah kemaslahatan, khususnya dalam penetapan bulan kamariah, jauh lebih tinggi dalam kebersamaan. (*)

*) Dr Mahmudi Asyari, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Dikutip dari Jawa Pos, tanggal 13 September 2009.


Baca Selengkapnya....

Senin, 01 Juni 2009

Didukung NU, JK Tak Perlu GR!




R Ferdian Andi R

Jusuf Kalla
[inilah.com/Subekti]
INILAH.COM, Jakarta – Di Pemilu 2009 ini Nahdlatul Ulama sepertinya akan merapat ke capres Jusuf Kalla. Kendati demikian, JK tak perlu gede rasa dulu. Sejarah membuktikan pada Pilpres 2004 tokoh NU justru berguguran, mulai dari cucu pendiri NU Shalahudin Wahid hingga Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi.


Baca Selengkapnya....