SELAMAT DATANG DI BLOG INI !!!

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat berkunjung di blog ini. Blog ini dibuat sebagai blog yang berisi artikel-artikel Sosial, Keagamaan dan Politik serta sastra-satra kotemporer. Dan juga berisi foto-foto perihal tersbut di atas.

Jangan segan-segan untuk memberikan komentar, saran dan kritik yang membangun demi kebaikan blog ini dan tentunya kebaikan pemilik blog.

Akhir kata semoga blog ini memberikan manfaat bagi kita semua.


Wassalam


Ahmad Mustofa

Minggu, 13 September 2009

Nasuh Al-Matraki: Cendekiawan Besar dari Turki Usmani




Beragam ilmu pengetahuan yang dikuasainya telah membuat Nasuh Al-Matraki menjadi terpandang di era Kekhalifahan Usmani Turki. Ia pun menjadi salah seorang cendekiawan besar pada abad XVI. Sejarah peradaban Islam mencatat sumbangan penting yang diberikannya bagi pengembangan matematika, sejarah, geografi, kartografi, teknik serta kaligrafi.

Dia bukanlah ilmuwan biasa. Matraki juga dikenal sebagai seorang ksatria yang jago mengatur taktik perang. Tak heran jika, Sultan Sulaiman Al-Qanuni Khalifah Turki Usmani yang sangat disegani di seantero dunia pada abad XVI begitu terkesan dengan kehebatan ilmuwan yang satu ini.

Berkat kehebatannya, Sultan Sulaiman menganugerahi Matraki gelar ustad dan rais. Ilmuwan dan ksatria yang dikenal lihai memainkan beragam senjata itu, pamornya kian berkibar, setelah berhasil menciptakan sebuah permainan strategi perang yang diberi nama Matrak. Atas keberhasilannya itu, Matraki juga dikenal sebagai Master of Knight.

Sejatinya, ilmuwan Muslim masyhur pada abad XVI itu bernama lengkap Nasuh bin Karagozz Al-Bosnawi. Berkat permainan yang diciptakannya itu, dia lebih dikenal dengan sebuatan Nasuh Matraki Bey. Sejatinya, Matraki berasal dari keluarga Bosnia. Ayah dan kakeknya mengabdi sebagai pegawai pemerintahan KekhalifahanTurki Usmani.

Matraki menimba ilmu di sekolah istana pada era kekuasaan Sultan Bayezid II (1481-1521). Dia banyak berguru kepada Sai Celebi salah satu guru Sultan Bayezid II. Dia memulai karirnya sebagai seorang ksatria di masa kepemimpinan Sultan Selim I (1512-1520 M). Pada tahun 1520 M, Matraki memutuskan untuk hijrah ke Mesir. Di negeri piramida itu, ia meningkatkan kemampuannya dalam bidang permainan kemiliteran.

Kemampuan Matraki dalam permainan kemiliteran tak ada yang mampu menandingi. Dia diakui sebagai seorang ksatria yang sangat berbakat dalam bidang ini. Matraki juga dikenal sebagai seorang ksatria yang gemar menggunakan topeng dan ahli bermain pedang. Itulah mengapa dia dijuluki Al-Silahi. Matraki pun mengajarkan kemampuannya dalam memainkan senjata di Sekolah Enderun.

Kemampuannya dalam memainkan senjata telah membuat Sultan Sulaiman Al-Qanuni terpikat. Dalam sebuah acara perayaan khitanan putera sang Sultan, Matraki dan para muridnya mendemonstrasikan kemampuannya dalam seni menggunakan dan membuat persenjataan. Sultan Sulaiman berdecak kagum dengan kehebatan Matraki. Ia lalu menganugerahinya gelar kehormatan.

Menyusul keberhasilannya dalam acara perayaan khitanan putera Sultan Sulaeman Al-Qanuni itu, pada tahun 1529 Matraki juga mampu merampungkan sebuah buku bertajuk Tuhfat Al-Ghuzat. Kitab yang berisi lima bab itu mengupas dan membahas tentang seni menggunakan dan membuat persenjataan.

Dalam buku yang dilengkapi dengan ilustrasi itu, Matraki memaparkan cara-cara membuat dan menggunakan panah, pedang serta tongkat. Matraki pun memberi informasi seputar taktik-taktik militer dan ksatria. Dia juga memaparkan permainan-permainan perang, pendidikan militer, hingga cara menunggang kuda bagi pasukan kavaleri. Ia juga mengupas tentang taktik berperang bagi pasukan infanteri. Dalam buku yang ditulisnya itu, Matraki juga membuat ilustrasi tentang cara membuat benteng pertahanan bergerak.

Pamor Matraki sebagai seorang ilomuwan sekaligus ksatria makin kinclong setelah berhasil menciptakan permainan bernama Matrak. Dalam bahasa Turki, Matrak berarti mengagumkan. Hingga kini Matrak dikenal sebagai permainan orang Turki. Permainan ini dimainkan dengan menggunakan tongkat yang biasa disebut cudgel atau rapier. Tongkat yang digunakan untuk permainan ini ditutup dengan ledder sepintas mirip tiang pancang bowling.

Bagian atas tongkat yang digunakan berbentuk bulat dan sedikit lebih lebar dibanding badan tongkat. Permainan yang diciptakan Matraki itu menyerupai pertempuran animasi. Permainan itu dimainkan di atas rumput. Matraki menciptakan permainan itu sebagai sarana untuk latihan perang. Kemampuannya dalam membuat permainan peperangan itu diperolehnya saat belajar di Mesir pada era kepemimpinan Gubernur Hayr Bey.

Tak hanya termasyhur sebagai seorang ksatria, Matraki pun dikenal sebagai seorang miniaturis, kaligrafer dan seorang pelukis yang ulung. Dia memiliki keahlian yang luar biasa dalam melukis. Setiap kali ikut dalam ekspedisi penaklukan yang dilakukan Kerajaan Usmani Turki, Matraki tak pernah lupa untuk menggambar dan melukiskan tempat-tempat yang disinggahi pasukan istana.

Selain itu, dia juga selalu menjelaskan setiap tempat yang dikunjunginya, mulai dari Istanbul hingga ke Baghdad melalui Tabriz. Kota-kota yang berhasil ditaklukan Kekhalifahan Usmani Turki dari genggaman Kerjaan Safavid semua dicatat dan digambarkan secara detail oleh Matraki. Jalur yang dilalui Matraki berbeda dengan yang dilalui pasukan militer Usmani Turki mereka menempuh perjalanan dari Istanbul ke Baghdad melalui Sivas-Erzurum dan kembali melalui jalan Diyarbakir-Allepo.

Bahkan, secara khusus dia mengambar peta daratan dengan jenis relief dalam kitab yang ditulisnya Bayân-i Manâzil-i Safar-i Iraqayn-i Sultan Süleyman Khan. Buku itu berisi informasi yang detil mengenai ekspedisi pertama Sultan Sulaiman Al-Qanuni saat melawan Kerajaan Sapavid Iran antara tahun 1533 hingga 1536.

Sejarah mencatat Matraki yang juga berhasil menciptakan gaya tulisan kaligrafi khas Usmani Turki. Gaya tulisan kaligrafi yang ditemukan itu bernama "kalem-i divani". Sebelum gaya tulisan kaligrafi khas Turki diciptakan Matraki, Kekhalifahan Usmani Turki masih menggunakan tulisan kaligrafi khas Iran ta'lik.

Matraki tutup usia pada 28 April 1564. Jabatan terakhir yang diembannya adalah memimpin kantor yang mengurusi masalah kuda-kuda istana. Masyarakat Turki mengagumi keberhasilan yang pernah dicapainya. Tak heran, bila karya-karyanya disejajarkan dengan Leonardo da Vinci. Untuk mengenangnya, Radio dan Televisi Turki pada tahun 1979 membuat film dokumenter tentang perjalanan hidup sang ilmuwan dan ksatria fenomenal di abad ke XVI itu.


Sumbangan Sang Ksatria

Sejarah
Matraki dikenal sebagai seorang sejarawan terkemuka di era Kekhalifahan Usmani Turki. Pada tahun 1520 M, dia berhasil menerjemahkan buku sejarah karya Al-Tabari yang berjudul Tarih Al_rasul wa Al-Muluk kedalam bahasa Turki. Karya alihbahasa itu diberi judul Madjma' Al-Tawarikh. Dalam kitab itu dia juga membuat semacam suplemen yang berisi tentang sejarah Ottoman.

Selain itu, Matraki juga menulis sejarah kepemimpinan Sultan Bâyezid II, Sultan Selim I dan Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Beberapa buku sejarah yang ditulis Matraki itu antara lain; Ta'rikh-i Sultan Bâyezid wa-Sultan Selim ; Bayân-i Manâzil-i Safar-i Iraqayn-i Sultan Süleyman Khan yang dikenal dengan Majmua'-i Manâzil (1537). Pada 1538, Matraki juga berhasil menuliskan kitab Fath-nâme-i Karabughdan.

Kitab sejarah lainnya yang ditulis Matraki berjudul Ta'rikh-i Feth-i Shiklos wa Estergon wa Istolnibelgrad . Dia juga menulis dua volume sejarah hidup Sultan Sulaiman dalam kitab Suleyman-name. Pada 1550, sejarawan Kerajaan Usmani Turki itu mendapat dukungan dari seorang menteri utama Sultan Sulaiman, Rustem Pasha untuk menerjemahkan karya Sejarawan Al-Tabari yang lainnya berjudul Djami' Al-Tawarikh. Dalam satu volume khusus pada bagian kitab yang diterjemahkannya itu, Matraki mengupas peristiwa-peristiwa penting di era kepemimpinan Sultan Sulaiman hingga tahun 1561.

Matematika
Matraki memang layak dijuluki ilmuwan serbabisa. Dia ternyata juga sangat populer sebagai seorang matematikus. Secara khusus, dia menulis dua buku matematika dalam bahasa Turki untuk meringankan tugas para ulama, dewan kerajaan (divan katipleri) dan para akuntan negara. Kedua buku matematika yang ditulis Matraki memegang peranan penting dalam kemajuan Kerajaan Usmani Turki.

Pasalnya, buku matematika yang disusun Matraki itu sangat mudah dipahami setiap kalangan. Tak heran, jika buku matematika yang ditulis sang ilmuwan ksatria itu sangat cocok untuk digunakan sebagai matematika bahasa. Buku ini juga dijadikan panduan para akuntan di era Usmani Turki dalam mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan matematika.

Buku matematika pertama yang ditulis Matraki berjudul Jamal al-Kuttab wa Kamal al-Hussab . Kitab yang disusun pada tahun 1517 itu secara khusus didedikasikan Matraki untuk Sultan Selim I (1512-1520). Sedangkan, buku kedua yang bertajuk Umdat al-Hussab fi'l-furuz al-mukaddar bi'l-kulliyat diselesaikan Matraki pada tahun 1533 merupakan pengembangan dari kitab versi pertama.

Geografi Deskriptif
Di Era kekhalifahan Utsmani Turki, Matraki merupakan seorang yang sangat penting dalam bidang geografi deskriptif. Buku pertamanya yang paling bernilai dalam bidang itu berjudul Bayân-i Manâzil-i Safar Iraqayn berisi penjelasan tenpat-tempat yang disinggahi dalam dua ekspedisi ke Irak.

Dia juga membuat miniatur yang menggambarkan jalan yang menghubungkan Istanbul Tabriz Baghdad. Miniatur yang diciptakannya itu mirip sebuah peta. Karya-karya Matraki selalu menjadi rujukan bagi siapaun yang ingin mempelajariUsmani Turki terutama Istanbul pada abad ke-16 M. Selama berabad-abad lukisan hasil goresan tangan Matraki tentang ibukota Usmani Turki itu tetap dijadikan acuan.

Matraki pun sukses membuat peta. Uniknya peta yang diciptakan Matraki disertai dengan miniatur-miniatur sehingga sangat bernilai dari perspektif geografi. Dalam Ta'rikh-i Feth-i Shiklos wa Estergon wa Istolnibelgrad Matraki menggambarkan tempat penginapan yang ada di antara Istanbul dan Budapest. Dalam kitab itu juga dia menjelaskan kota-kota yang dilaluinya seperti Nice, Toulon dan Marseilles. hri/taq
(Dikutip dari republika online, tanggal 14 September 2009).


Baca Selengkapnya....

Nasuh Al-Matraki: Cendekiawan Besar dari Turki Usmani




Beragam ilmu pengetahuan yang dikuasainya telah membuat Nasuh Al-Matraki menjadi terpandang di era Kekhalifahan Usmani Turki. Ia pun menjadi salah seorang cendekiawan besar pada abad XVI. Sejarah peradaban Islam mencatat sumbangan penting yang diberikannya bagi pengembangan matematika, sejarah, geografi, kartografi, teknik serta kaligrafi.

Dia bukanlah ilmuwan biasa. Matraki juga dikenal sebagai seorang ksatria yang jago mengatur taktik perang. Tak heran jika, Sultan Sulaiman Al-Qanuni Khalifah Turki Usmani yang sangat disegani di seantero dunia pada abad XVI begitu terkesan dengan kehebatan ilmuwan yang satu ini.

Berkat kehebatannya, Sultan Sulaiman menganugerahi Matraki gelar ustad dan rais. Ilmuwan dan ksatria yang dikenal lihai memainkan beragam senjata itu, pamornya kian berkibar, setelah berhasil menciptakan sebuah permainan strategi perang yang diberi nama Matrak. Atas keberhasilannya itu, Matraki juga dikenal sebagai Master of Knight.

Sejatinya, ilmuwan Muslim masyhur pada abad XVI itu bernama lengkap Nasuh bin Karagozz Al-Bosnawi. Berkat permainan yang diciptakannya itu, dia lebih dikenal dengan sebuatan Nasuh Matraki Bey. Sejatinya, Matraki berasal dari keluarga Bosnia. Ayah dan kakeknya mengabdi sebagai pegawai pemerintahan KekhalifahanTurki Usmani.

Matraki menimba ilmu di sekolah istana pada era kekuasaan Sultan Bayezid II (1481-1521). Dia banyak berguru kepada Sai Celebi salah satu guru Sultan Bayezid II. Dia memulai karirnya sebagai seorang ksatria di masa kepemimpinan Sultan Selim I (1512-1520 M). Pada tahun 1520 M, Matraki memutuskan untuk hijrah ke Mesir. Di negeri piramida itu, ia meningkatkan kemampuannya dalam bidang permainan kemiliteran.

Kemampuan Matraki dalam permainan kemiliteran tak ada yang mampu menandingi. Dia diakui sebagai seorang ksatria yang sangat berbakat dalam bidang ini. Matraki juga dikenal sebagai seorang ksatria yang gemar menggunakan topeng dan ahli bermain pedang. Itulah mengapa dia dijuluki Al-Silahi. Matraki pun mengajarkan kemampuannya dalam memainkan senjata di Sekolah Enderun.

Kemampuannya dalam memainkan senjata telah membuat Sultan Sulaiman Al-Qanuni terpikat. Dalam sebuah acara perayaan khitanan putera sang Sultan, Matraki dan para muridnya mendemonstrasikan kemampuannya dalam seni menggunakan dan membuat persenjataan. Sultan Sulaiman berdecak kagum dengan kehebatan Matraki. Ia lalu menganugerahinya gelar kehormatan.

Menyusul keberhasilannya dalam acara perayaan khitanan putera Sultan Sulaeman Al-Qanuni itu, pada tahun 1529 Matraki juga mampu merampungkan sebuah buku bertajuk Tuhfat Al-Ghuzat. Kitab yang berisi lima bab itu mengupas dan membahas tentang seni menggunakan dan membuat persenjataan.

Dalam buku yang dilengkapi dengan ilustrasi itu, Matraki memaparkan cara-cara membuat dan menggunakan panah, pedang serta tongkat. Matraki pun memberi informasi seputar taktik-taktik militer dan ksatria. Dia juga memaparkan permainan-permainan perang, pendidikan militer, hingga cara menunggang kuda bagi pasukan kavaleri. Ia juga mengupas tentang taktik berperang bagi pasukan infanteri. Dalam buku yang ditulisnya itu, Matraki juga membuat ilustrasi tentang cara membuat benteng pertahanan bergerak.

Pamor Matraki sebagai seorang ilomuwan sekaligus ksatria makin kinclong setelah berhasil menciptakan permainan bernama Matrak. Dalam bahasa Turki, Matrak berarti mengagumkan. Hingga kini Matrak dikenal sebagai permainan orang Turki. Permainan ini dimainkan dengan menggunakan tongkat yang biasa disebut cudgel atau rapier. Tongkat yang digunakan untuk permainan ini ditutup dengan ledder sepintas mirip tiang pancang bowling.

Bagian atas tongkat yang digunakan berbentuk bulat dan sedikit lebih lebar dibanding badan tongkat. Permainan yang diciptakan Matraki itu menyerupai pertempuran animasi. Permainan itu dimainkan di atas rumput. Matraki menciptakan permainan itu sebagai sarana untuk latihan perang. Kemampuannya dalam membuat permainan peperangan itu diperolehnya saat belajar di Mesir pada era kepemimpinan Gubernur Hayr Bey.

Tak hanya termasyhur sebagai seorang ksatria, Matraki pun dikenal sebagai seorang miniaturis, kaligrafer dan seorang pelukis yang ulung. Dia memiliki keahlian yang luar biasa dalam melukis. Setiap kali ikut dalam ekspedisi penaklukan yang dilakukan Kerajaan Usmani Turki, Matraki tak pernah lupa untuk menggambar dan melukiskan tempat-tempat yang disinggahi pasukan istana.

Selain itu, dia juga selalu menjelaskan setiap tempat yang dikunjunginya, mulai dari Istanbul hingga ke Baghdad melalui Tabriz. Kota-kota yang berhasil ditaklukan Kekhalifahan Usmani Turki dari genggaman Kerjaan Safavid semua dicatat dan digambarkan secara detail oleh Matraki. Jalur yang dilalui Matraki berbeda dengan yang dilalui pasukan militer Usmani Turki mereka menempuh perjalanan dari Istanbul ke Baghdad melalui Sivas-Erzurum dan kembali melalui jalan Diyarbakir-Allepo.

Bahkan, secara khusus dia mengambar peta daratan dengan jenis relief dalam kitab yang ditulisnya Bayân-i Manâzil-i Safar-i Iraqayn-i Sultan Süleyman Khan. Buku itu berisi informasi yang detil mengenai ekspedisi pertama Sultan Sulaiman Al-Qanuni saat melawan Kerajaan Sapavid Iran antara tahun 1533 hingga 1536.

Sejarah mencatat Matraki yang juga berhasil menciptakan gaya tulisan kaligrafi khas Usmani Turki. Gaya tulisan kaligrafi yang ditemukan itu bernama "kalem-i divani". Sebelum gaya tulisan kaligrafi khas Turki diciptakan Matraki, Kekhalifahan Usmani Turki masih menggunakan tulisan kaligrafi khas Iran ta'lik.

Matraki tutup usia pada 28 April 1564. Jabatan terakhir yang diembannya adalah memimpin kantor yang mengurusi masalah kuda-kuda istana. Masyarakat Turki mengagumi keberhasilan yang pernah dicapainya. Tak heran, bila karya-karyanya disejajarkan dengan Leonardo da Vinci. Untuk mengenangnya, Radio dan Televisi Turki pada tahun 1979 membuat film dokumenter tentang perjalanan hidup sang ilmuwan dan ksatria fenomenal di abad ke XVI itu.


Sumbangan Sang Ksatria

Sejarah
Matraki dikenal sebagai seorang sejarawan terkemuka di era Kekhalifahan Usmani Turki. Pada tahun 1520 M, dia berhasil menerjemahkan buku sejarah karya Al-Tabari yang berjudul Tarih Al_rasul wa Al-Muluk kedalam bahasa Turki. Karya alihbahasa itu diberi judul Madjma' Al-Tawarikh. Dalam kitab itu dia juga membuat semacam suplemen yang berisi tentang sejarah Ottoman.

Selain itu, Matraki juga menulis sejarah kepemimpinan Sultan Bâyezid II, Sultan Selim I dan Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Beberapa buku sejarah yang ditulis Matraki itu antara lain; Ta'rikh-i Sultan Bâyezid wa-Sultan Selim ; Bayân-i Manâzil-i Safar-i Iraqayn-i Sultan Süleyman Khan yang dikenal dengan Majmua'-i Manâzil (1537). Pada 1538, Matraki juga berhasil menuliskan kitab Fath-nâme-i Karabughdan.

Kitab sejarah lainnya yang ditulis Matraki berjudul Ta'rikh-i Feth-i Shiklos wa Estergon wa Istolnibelgrad . Dia juga menulis dua volume sejarah hidup Sultan Sulaiman dalam kitab Suleyman-name. Pada 1550, sejarawan Kerajaan Usmani Turki itu mendapat dukungan dari seorang menteri utama Sultan Sulaiman, Rustem Pasha untuk menerjemahkan karya Sejarawan Al-Tabari yang lainnya berjudul Djami' Al-Tawarikh. Dalam satu volume khusus pada bagian kitab yang diterjemahkannya itu, Matraki mengupas peristiwa-peristiwa penting di era kepemimpinan Sultan Sulaiman hingga tahun 1561.

Matematika
Matraki memang layak dijuluki ilmuwan serbabisa. Dia ternyata juga sangat populer sebagai seorang matematikus. Secara khusus, dia menulis dua buku matematika dalam bahasa Turki untuk meringankan tugas para ulama, dewan kerajaan (divan katipleri) dan para akuntan negara. Kedua buku matematika yang ditulis Matraki memegang peranan penting dalam kemajuan Kerajaan Usmani Turki.

Pasalnya, buku matematika yang disusun Matraki itu sangat mudah dipahami setiap kalangan. Tak heran, jika buku matematika yang ditulis sang ilmuwan ksatria itu sangat cocok untuk digunakan sebagai matematika bahasa. Buku ini juga dijadikan panduan para akuntan di era Usmani Turki dalam mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan matematika.

Buku matematika pertama yang ditulis Matraki berjudul Jamal al-Kuttab wa Kamal al-Hussab . Kitab yang disusun pada tahun 1517 itu secara khusus didedikasikan Matraki untuk Sultan Selim I (1512-1520). Sedangkan, buku kedua yang bertajuk Umdat al-Hussab fi'l-furuz al-mukaddar bi'l-kulliyat diselesaikan Matraki pada tahun 1533 merupakan pengembangan dari kitab versi pertama.

Geografi Deskriptif
Di Era kekhalifahan Utsmani Turki, Matraki merupakan seorang yang sangat penting dalam bidang geografi deskriptif. Buku pertamanya yang paling bernilai dalam bidang itu berjudul Bayân-i Manâzil-i Safar Iraqayn berisi penjelasan tenpat-tempat yang disinggahi dalam dua ekspedisi ke Irak.

Dia juga membuat miniatur yang menggambarkan jalan yang menghubungkan Istanbul Tabriz Baghdad. Miniatur yang diciptakannya itu mirip sebuah peta. Karya-karya Matraki selalu menjadi rujukan bagi siapaun yang ingin mempelajariUsmani Turki terutama Istanbul pada abad ke-16 M. Selama berabad-abad lukisan hasil goresan tangan Matraki tentang ibukota Usmani Turki itu tetap dijadikan acuan.

Matraki pun sukses membuat peta. Uniknya peta yang diciptakan Matraki disertai dengan miniatur-miniatur sehingga sangat bernilai dari perspektif geografi. Dalam Ta'rikh-i Feth-i Shiklos wa Estergon wa Istolnibelgrad Matraki menggambarkan tempat penginapan yang ada di antara Istanbul dan Budapest. Dalam kitab itu juga dia menjelaskan kota-kota yang dilaluinya seperti Nice, Toulon dan Marseilles. hri/taq
(Dikutip dari republika online, tanggal 14 September 2009).


Baca Selengkapnya....

Alamak... 100 Peserta Festival Tongklek Macetkan Jalanan Tuban




Minggu, 13 September 2009 22:24:04 WIB
Reporter : Abdul Qohar


Tuban (beritajatim.com) - Banyak cara bisa dilakukan untuk melestarikan budaya lokal, semisal musik tongklek atau biasa disebut musik pembangun umat Islam saat akan melakukan sahur di bulan ramadan.

Di Kabupaten Tuban, lebih dari dari 100 kelompok peserta Festival Musik Tongklek (FMT) 2009 atau patrol membuat warga terhibur dan membuat jalanan di Kabupaten Tuban macel. Dengan peralatan seadanya, hingga yang semi modern, para peserta berusaha menunjukkan kreatifitas masing-masing.

Salah satu panitia pelaksanan Festival Musik Tongklek (FMT) Tahun 2009 Kabupaten Tuban, Imam Masduki, kepada beritajatim.com, Minggu (13/9/2009) mengatakan, kegiatan yang dilaksaakan ini adalah bagian dari menghidupkan kembali budaya masyarakat Tuban yang mulai terkikis oleh budaya modern.




"Dengan cara seperti ini, kami berusaha mengajak kepada masyarakat Indonesia pada umumnya untuk terus menjaga budayanya, agar jangan sampai diklaim oleh negara lain," tegasnya serius.

Ditambahkan, kegiatan ini dipelopori oleh generasi penurus Nahdlatul Ulama (NU) Tuban yang mempunyai tanggungjawab moral untuk menghidupkan kemabli budaya lokal. "Kami tiap tahunnya terus menggelar acara seperti ini," lanjutnya.

Untuk menambah semangat peserta FMT, panitia menghadirkan sejumlah seniman yang khusus untuk memberikan penilaian atau menjadi juri pada festifal ini. "Hal itu dilakukan agar penilaian ini obyektif. Bahkan, ada beberapa seniman dari luar daerah Tuban," sambungnya.

Seperti diketahui, FMT ini juga merupakan rangkaian dari kegiatan Gema Ramadhan yang? digelar oleh Ikatan Pelajar Nahdalatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Purti Nahdalatul Ulama’ (IPPNU) Cabang Tuban. Selain itu juga ada Festifal Rebana se-Karisidenan Bojonegoro dan diklat Jurnalistik Dasar.

Ditanya mengenai ketentuan alat musik yang bisa dimainkan, Masduki menegaskan, alat musik tidak boleh mengunakan alat musik modern. Selian itu peserta harus bisa melantunkan syair-syari Islam yang lagi popular saat ini.

Terpisah, H Noor Faiko Sumjarno, Sekretaris Tanfidz PC NU Tuban menambahkan, musik yang terus dilombakan oleh generasi penerus NU (IPNU/IPPNU) setiap tahunnya ini adalah sebenarnya musik para wali dulu. "Para wali melakukan pendekatan pada masyarakat yang gemar dengan musik, sebelum dikenalkan tentang ajaran islam terlebih dahulu," tegasnya.

Diterangkan, musik patrol tidak sekedar musik tongklek utuk menjaga keamanan dan ketertiban dilingkungan masyarat saja. Melainkan ciptaan para waliyullah yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam dengan cara atau melalui alunan musik dan syair Islami. [dul/kun] (Dikutip dari Beritajatim.com, tanggal 14 September 2009).


Baca Selengkapnya....

Alquran dan Bumi Manusia




Jum'at, 11 September 2009 - 10:14 wib

SETIAP Ramadan di berbagai masjid selalu diadakan peringatan Nuzulul Quran, peristiwa turunnya Alquran. Tentu Alquran turun ke bumi tidak seperti turunnya hujan dari langit karena langit itu sendiri pengertiannya banyak, mengingat bumi itu bulat dan hanya sebagian kecil saja dari miliaran planet yang mengapung di alam semesta.

Jadi, kalau dikatakan Alquran itu turun dari langit, langit manakah yang dimaksud, sulit dijawab secara ringkas. Peristiwa nuzulul Quran mungkin mirip dengan Isra Mikraj, Yaitu peristiwa rohani yang hanya dialami oleh pribadi Muhammad SAW,sementara para sahabat tidak ikut terlibat di dalamnya.

Para sahabat hanya mendengar ceritanya, lalu meyakini. Ini berbeda dengan hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah yang merupakan peristiwa historis-empiris yang bisa disaksikan dan diikuti oleh para sahabat beliau. Alquran turun pun tidak dalam bentuk lembaran kertas penuh tulisan yang jatuh berhamburan di muka bumi, lalu dipungut oleh Rasulullah.

Tidak juga malaikat Jibril menyerahkan bundelan kitab yang dapat diraba dan dipegang. Tetapi Alquran turun pada bumi manusia, dengan lokus ataupun perantara Muhammad seorang diri. Ini merupakan peristiwa rohani yang Muhammad sendiri sulit menjelaskan, bahkan pada awal mulanya ketakutan ketika makhluk spiritual bernama Jibril menemuinya di Gua Hira.

Jadi, yang dituju oleh Nuzulul Quran adalah bumi manusia, yaitu hati dan pikiran manusia, agar pesan dan petunjuk Alquran direnungkan, dipahami, dinalar, selanjutnya masuk menjadi keyakinan dan pada urutannya menggerakkan dan membuahkan perbuatan baik atau amal saleh.

Bahwa setiap Ramadan diadakan peringatan awal turunnya Alquran, itu sangat bagus agar umat Islam semakin akrab dan semakin mencintai Alquran. Namun yang paling mendasar dari peringatan itu adalah apakah pesan dan semangat Alquran nuzul pada hati dan pikiran kita ataukah tidak? Alquran menamakan dirinya dengan beragam nama dan fungsi, namun yang terkenal sebagai hudan atau petunjuk jalan kebenaran dan kebaikan.

Dalam tradisi hermeneutika, sebuah petunjuk akan berfungsi dengan mengandaikan beberapa syarat. Pertama, seseorang mesti paham apa yang dikandung oleh petunjuk itu. Misalnya saja, ketika ke Jepang, saya tiba-tiba menjadi buta huruf lantaran dihadapkan dengan beberapa keterangan dan petunjuk jalan dalam huruf kanji dan bahasa Jepang. Demikian pula apa yang dikandung Alquran.

Ketika seseorang tidak mampu membaca dan menangkap pesannya, petunjuk itu tidak berfungsi. Kedua, ibarat petunjuk jalan, kalau seseorang paham tetapi tidak mau menaati atau dihadapkan pada situasi yang menghalangi, maka lagi-lagi petunjuk itu tidak mengantarkan seseorang pada sasaran yang dituju.Ketiga, ibarat resep dokter, kalau seseorang tidak berdisiplin mengikuti petunjuknya agar memakan obat serta menjaga gaya hidup sehat, maka sulit baginya untuk hidup sehat.

Jadi, Alquran sebagai petunjuk jalan kebenaran dan kebaikan pada implementasinya dikembalikan pada umat Islam sendiri, apakah benar-benar memahami dan mampu melaksanakan ataukah tidak. Bahwa membacanya berpahala, memang itu dibenarkan oleh Rasulullah. Bahwa peringatan Nuzulul Quran itu bagus, itu sudah pasti sebagai tanda cinta umat Islam pada kitab sucinya.

Heart, Head, Hand

Agar Alquran mencapai sasarannya dan nuzul atau turun pada bumi manusia dan berfungsi membawa rahmat bagi kehidupan manusia, tidak saja bagi umat Islam, maka syarat pertama seseorang haruslah menyucikan hatinya (clean heart). Bagi orang yang hatinya tidak bersih, Alquran sulit untuk masuk.

Demikianlah bunyi salah satu ayat Alquran. Selama Ramadan, dengan banyak memperbanyak ibadah mendekatkan diri kepada Allah, memohon ampunan dan berbuat baik kepada sesama, semoga hati seorang mukmin akan kembali menjadi bersih sehingga Alquran bisa nuzul ke hatinya.

Syarat kedua, bila tanpa pikiran kritis dan selalu ingin berdialog secara cerdas dengan Alquran, Alquran seakan bisu, tidak banyak berbicara pada kita. Sebuah teks akan berbicara dan mengajari kita kalau kita senang bertanya, berdialog dan menangkap kandungannya. Makanya umat Islam mesti menggunakan nalar kritis dalam membaca Alquran.

Itulah salah satu keunikan dan keunggulan mukjizat Alquran yang menantang dan sekaligus membimbing penalaran (head) manusia. Syarat ketiga, setelah menggunakan heart dan head dengan benar dan optimal, selanjutnya seorang muslim haruslah mengimplementasikan dalam karya dan tindakan nyata dengan hand, sehingga buah dari kecintaan dan pemahamannya pada Alquran membuahkan amal saleh, yaitu karya nyata yang benar dan bermanfaat bagi umat manusia.

Semasa Rasulullah, masyarakat Arab padang pasir yang dikenal jahiliah dan senang berperang, dengan bimbingan Alquran, hati, pikiran dan perilakunya dipandu oleh Alquran, sehingga dalam waktu singkat terjadi revolusi peradaban.

Alquran benar-benar nuzul pada hati dan pikiran mereka yang kemudian mendorong perubahan sosial, dari kehidupan yang tidak beradab menjadi beradab. Hidup yang semula senang berperang berubah menjadi senang ilmu dan perdamaian. Itulah salah satu pesan Nuzulul Quran yang mesti kita gali, renungkan dan amalkan. (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Dikutip dari: news.oke.zone.com, tanggal 13 September, oleh ahmad Mustofa.


Baca Selengkapnya....

Tionghoa Muslim di Indonesia




Oleh : Tomy Su

Baru-baru ini dikisahkan betapa semaraknya Ramadan di Tiongkok yang penuh dengan kegiatan keagamaan, seperti diungkapkan Rizky Ramadhani Zamzam, remaja putri yang empat tahun ini belajar di Shanghai (Jawa Pos, 6 September 2009).

Nah, informasi tersebut mengingatkan penulis pada sejarah masuknya Islam ke negeri kita. Selama ini, masuknya Islam ke Indonesia selalu diidentikkan dengan penyebaran agama oleh orang Arab, Persia, ataupun Gujarat. Itu tidak keliru. Namun, sejarah tidak lengkap tanpa menyebut Tiongkok. Jadi, Islam masuk ke Nusantara, di antaranya lewat Tiongkok, bersama masuknya armada dari Dinasti Ming ke Palembang pada 1407, yang dipimpin Cheng Hoo. Islamnya bermazhab Hanafi.

Komunitas Awal

Laksamana Cheng Hoo membentuk komunitas Tionghoa muslim di Palembang yang sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orang Tionghoa. Itulah komunitas Tionghoa muslim pertama di Nusantara.

Dalam melaksanakan tugasnya mencari hubungan dagang dan politik, Laksamana Cheng Hoo banyak menggunakan orang-orang Tionghoa Islam dari Yunan. Dengan sendirinya, soal keislaman ikut terbawa. Demi keperluan salat bagi umat Islam, di berbagai tempat didirikan masjid.

Salah satu sosok Tionghoa muslim yang patut dicatat di sini adalah Raden Patah. Menurut dokumen berusia lebih dari 400 tahun di Kelenteng Sam Po Kong Semarang, diperoleh kepastian bahwa Raden Patah -pendiri Kasultanan Islam Demak yang bergelar Panembahan Djimbun- berdarah Tionghoa.

Menurut buku Babad Tanah Djawi Prabu Brawidjaja VII, raja Majapahit menikahi putri saudagar Tionghoa muslim kawan baik Sang Prabu dan memiliki anak. Selanjutnya, anak itu tidak dibesarkan di lingkungan keraton, melainkan dibesarkan dalam komunitas Tionghoa muslim di Palembang.

Jadi, kerajaan Islam Demak dibangun komunitas Tionghoa yang menetap di Semarang. Raden Patah atau Al Fatah menjadi Sultan Demak pertama (1475-1518) dengan julukan Senapati Djimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Saidin Panata Agama.

Yang mengejutkan, malah ada informasi kemungkinan delapan di antara sembilan Wali Sanga juga berdarah Tionghoa. Orang Indonesia mengenal Wali Sanga sebagai sembilan orang sakti yang pertama menyebarkan agama Islam di Jawa. Delapan di antara sembilan wali itu merupakan orang Tionghoa dengan gelar Sunan. Arti "Su" dari Suhu atau dialek Fukien Saihu, Guoyu (Mandarin) Szefu dan "nan"= selatan. Tentu saja, bisa diperdebatkan kebenarannya.

Salah satu jejak para wali tersebut bisa dilihat di Gresik yang merupakan kawasan muslim tertua di Jatim. Ketika itu, belum ada anggota muslimin pribumi. Pada 1451, Bong Swee Ho yang berasal dari Champa mendirikan pusat Islam di Ngampel untuk orang-orang Jawa dan Madura. Bong Swee Ho selanjutnya dikenal sebagai Sunan Ngampel. Putra Bong Swee Ho adalah Bong Ang, salah seorang Wali Sanga dengan nama Sunan Bonang.

Yang paling menonjol dalam komunitas Tionghoa muslim sejak dulu hingga kini adalah sikap santun dan pemahaman keislaman yang moderat, artinya tidak ekstrem. Memang etnis Tionghoa, sebagaimana ajaran Yin-Yang, selalu lebih mengedepankan keseimbangan atau harmoni dengan siapa saja.

Sikap itu tentu senada dengan Alquran yang tidak melegitimasi sedikit pun perilaku dan sikap yang melampaui batas, seperti "irhab", yakni tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi, sehingga berujung pada sikap membenarkan kekerasan atas nama agama.

Tidak heran, kita umat Islam -baik yang Tionghoa maupun bukan- terkejut saat ada orang yang memakai bendera Islam, tetapi tega membunuh orang lain dan dirinya dengan bom. Padahal, Islam mengajarkan bahwa membunuh satu orang sama saja dengan membunuh seluruh manusia. Anehnya, belakangan justru ada "tren" bom bunuh diri.

Penulis sepakat dengan Kepala Badan Litbang dan Pendidikan dan Latihan Departemen Agama HM. Atho Mudzhar bahwa Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin) tidak hanya dipersempit dan direduksi, tetapi juga disimpangkan dan bahkan dibajak oleh beberapa orang Islam yang kerap mengklaim sebagai muslim sejati.

Akibatnya, kebenaran Islam sebagai agama yang santun dan damai tersisih oleh pemahaman keagamaan yang membenarkan kekerasan, ektremitas atau radikalisme.

Islam Itu Damai

Untuk itu, komunitas Tionghoa muslim tidak boleh tinggal diam. Bersama umat Islam lain serta elemen anak bangsa, kita harus proaktif memberikan pencerahan lewat beragam langkah deradikalisasi. Langkah seperti itu harus menjadi proyek nasional mengingat maraknya terorisme. Para agamawan tidak perlu menunggu diajak pemerintah karena kita harus proaktif bersinergi dengan berbagai kalangan untuk upaya deradikalisasi.

Deradikalisasi adalah upaya internal setiap penganut agama untuk masuk ke dalam dan setiap muslim yang meyakini radikalisme atau ekstremitas harus diajak dengan cara-cara yang santun untuk kembali bersikap mo­derat, sebagaimana mainstream umat Islam di dunia. Semakin banyak yang terlibat dalam proyek deradikalisasi itu, seperti para orang tua atau pendidik di sekolah atau lembaga pendidikan, akan semakin baik.

Ramadan sebagai bulan penuh berkah bisa kita jadikan momentum menunjukkan bahwa Islam itu rahmatan lil alamin. Islam itu damai (aslama) dan orang-orang lain harus merasakan rahmat dan damai tersebut. (*)

*) Tomy Su, Koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia
Dikutip dari Jawa Pos, tanggal 13 September 2009.


Baca Selengkapnya....

Sabtu, 12 September 2009

Mempertemukan Hisab-Rukyat




Oleh : Mahmudi Asyari

SEKITAR lima tahun lalu, seorang wartawan Arab Saudi diseret ke pengadilan lantaran mengkritik putusan mahkamah agung (MA) negeri itu yang berkaitan dengan penetapan awal Syawal. Menurut wartawan tersebut, MA negeri keluarga Saud tersebut telah melakukan kekeliruan fatal lantaran ketika menerima klaim rukyat dari seseorang tidak mau mengecek kebenarannya melalui uji ilmiah, apakah saat itu hilal memang mungkin dirukyat atau tidak. Wartawan tersebut yakin bahwa hilal kala itu tidak mungkin bisa dirukyat lantaran masih jauh di bawah ufuk.

Laporan wartawan tersebut dianggap melawan otoritas agama. Pengadilan kemudian memberinya hukum cambuk. Untung, si wartawan tidak sampai dicambuk karena Putra Mahkota Abdullah yang sekarang menjadi raja mengampuni dan melepaskannya dari penjara.



Bagi kalangan ahli hisab (astronom), bukan kali itu saja Arab Saudi bersikap kontroversial dalam penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Bahkan, disinyalir tiga tahun terakhir ini negeri itu telah melakukan kesalahan dalam menentukan awal ketiga bulan tersebut lantaran dengan mudah menerima kesaksian siapa saja asal mau disumpah.

Padahal, menurut para ahli pada tiga tahun terakhir ini, selain awal Ramadan tahun ini, mungkin yang dilihat ketika itu adalah Merkurius. Saat itu matahari tenggelam sehingga kedudukan planet tersebut sangat tinggi dan bisa dilihat dengan mudah.

Itulah yang terjadi di Arab Saudi jika ada orang yang berani mengkritik putusan MA yang berkaitan dengan penetapan awal bulan hijriah, khususnya menyangkut tiga bulan tersebut. Baru tahun ini, meskipun tetap menolak untuk menyertakan astronom, ulama di sana memperbolehkan penggunaan teropong sebagai alat bantu untuk melihat hilal.

***

Jika di Arab Saudi sudah demikian kuat hegemoni negara (pemerintah) terhadap masalah tersebut, di Indonesia justru sangat longgar. Departemen Agama (Depag) yang sebenarnya sudah disepakati sebagai qadhi (pemberi kata akhir) tidak berdaya menjalankan fungsinya jika terjadi perselisihan. Sebab, ormas, khususnya NU dan Muhammadiyah, sewaktu-waktu bisa mengabaikan penetapan pemerintah. Ketidakberdayaan itu berlanjut ke aliran lain yang merasa punya pedoman sendiri. Misalnya aliran yang selalu ikut kata Arab Saudi meskipun negeri itu sering bertindak kontroversial.

Keadaan seperti itu terjadi karena "dosa" Depag sendiri. Pada masa lalu, mereka sangat politis, termasuk jika menterinya berasal dari Muhammadiyah, yakni cenderung mangakomodasi doktrin ormas Islam tersebut. Maka, tidaklah mengherankan jika yang sering berbeda dari pemerintah ketika itu adalah NU. Kini, setelah menterinya NU, giliran Muhammadiyah yang kukuh dengan doktrin wujudul hilal dan cenderung berbeda dari pemerintah.

Persoalannya, mungkinkah NU pada era Orde Baru (Orba) mengklaim rukyat jika hilal belum berwujud? Sejatinya, tidak ada rukyat jika hilal tidak berwujud. Dari situ timbul pertanyaan, apakah NU waktu itu memang bersikap asal beda atau Depag terkooptasi politik?

Sikap Depag pada era Orba berdampak saat ini, ketika tingkat kepercayaan terhadap Depag tidak bulat. Termasuk, ormas yang dulu selalu sepaham kini cenderung berbeda. Ketiadaan kesamaan sikap terhadap kriteria yang akan dijadikan dasar penetapan awal bulan membuat sejumlah orang bingung, terutama yang merasa bukan pengikut NU dan Muhammadiyah. Meskipun sebenarnya, menurut saya, hal itu tidak perlu disikapi dengan debat kusir. Sebab, masalah tersebut merupakan ranah fikih, bukan syariat. Ketika sudah masuk ranah fikih, urusan itu berarti masuk ranah al-ra'y (pendapat berdasar nalar). Menurut Umar bin Khattab, potensi untuk berbeda sangat besar dalam ranah al-ra'y itu.

***

Yang dipegang tiap-tiap ormas dengan kukuh tersebut sebenarnya bukan ranah syariat yang tidak bisa ditawar. Metode yang dianut masing-masing berada dalam ranah fikih dan politik. Sehingga, jika menganggap hal itu sebagai harga mati, sesungguhnya setiap pihak telah menaikkan level yang menurut Umar hanyalah pendapat tersebut ke tingkat syariat.

Karena masalah itu masuk ke dalam ranah fikih dan politik, sudah seharusnya upaya yang diserukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) didukung semua pihak tanpa perasaan takut akan kehilangan peran. Mestinya, menuju ke arah itu tidak sulit. Sebab, selama ini seperti Muhammadiyah bisa menganggap di daerah yang hilalnya di bawah ufuk sama daerah yang sudah wujud dengan argumen kesatuan wilayah hukum. Begitu juga dengan NU yang bisa mengikutkan sejumlah daerah dengan daerah lain yang mengklaim berhasil melihat hilal (rukyat) dengan ketinggian di bawah 2 derajat. Jadi, semestinya menuju kebersamaan dalam menentukan awal bulan sangat mungkin diwujudkan.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa metode penentuan awal bulan adalah ranah fikih, yang berarti juga ranah ijtihad. Dengan demikian, kebenarannya bersifat relatif. Karena itu, mengingat semua aliran mengakui bahwa fikih hanyalah hasil dugaan yang kuat di samping sifat yang relatif pendirian mutlak-mutlakan, sudah semestinya kita mulai mereduksi dan membuka diri untuk berdialog guna mencari titik temu (kalimatun sawa') yang bisa diterima semua pihak.

Selanjutnya, percayakan kepada pemerintah (Depag) atau MUI sambil mengawasi netralitas mereka. Sebab, hanya lewat tindakan itu, Islam sebagai rahmatan lil alamin, terutama bagi pemeluknya, menemukan momentum sebenarnya. Sudah semestinya kita mulai mereduksi bahwa penggunaan hadis perbedaan adalah rahmat jika nilai sebuah kemaslahatan, khususnya dalam penetapan bulan kamariah, jauh lebih tinggi dalam kebersamaan. (*)

*) Dr Mahmudi Asyari, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Dikutip dari Jawa Pos, tanggal 13 September 2009.


Baca Selengkapnya....